SuaraRiau.co -Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, Semangat Sumpah Pemuda memiliki peranan yang sangat penting. Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia dari berbagai daerah, latar belakang etnis, agama, dan budaya, berkumpul di Jakarta untuk menyatakan tekad dalam memperjuangkan cita-cita Persatuan Indonesia. Semangat inilah yang menjadi tonggak pergerakan nasional dan menginspirasi generasi muda Indonesia. Namun, di tengah Semangat Sumpah Pemuda yang masih membara, terdapat situasi kerusakan ekologis yang perlu mendapatkan perhatian oleh semua pihak, baik diregional, nasional dan internasional.
Menjelang tahun politik 2024, sistem politik Indonesia juga menghadapi masalah serius yaitu dominasi oligarki. Oligarki dapat didefinisikan sebagai pengendalian kekuasaan politik dan ekonomi yang terpusat di tangan sekelompok individu atau kelompok kecil yang kaya dan berkuasa. Keberadaan oligarki dalam sistem politik Indonesia menghambat demokratisasi yang sebenarnya dan mengekang keadilan sosial dan ekonomi. Bahkan para calon presiden dan wakil presiden 2024 ditengarai “digenggam” oleh kuasa oligarki.
Pemilu tanpa oligarki adalah cita-cita yang harus kita perjuangkan, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam politik tanpa adanya intervensi kekuasaan ekonomi yang dominan. Oligarki, selain menghambat partisipasi publik yang sehat, juga mengaburkan suara rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik dan mengurangi akuntabilitas para pemimpin politik. Oligarki telah menghasilkan UU Cipta Kerja yang hanya bermanfaat bagi kelompok 1% (oligarki) bukan bagi 99% (rakyat).
Melawan oligarki bukanlah tugas yang mudah, namun memang sudah saatnya kita menuntut reformasi politik yang lebih inklusif dan demokratis. Partisipasi pemuda dalam proses politik, seperti pemilihan umum, sangat penting untuk menghasilkan perubahan dan memperjuangkan pemilu tanpa oligarki. Pemilu 2024 berlangsung di tengah krisis iklim yang semakin nyata. Bencana hidrometeorologi dirasakan oleh masyarakat akibat dari krisis iklim. Diperlukan komitmen yang kuat dari para pemimpin masa depan untuk secara serius dan ambisius mengambil langkah konkrit penanganan krisis iklim. Komitmen serius ini hanya ditempuh apabila para calon pemimpin melepaskan diri dari jeratan oligarki1.
Krisis iklim akibat peningkatan suhu bumi yang kini mencapai 1,2 derajat dalam 100 tahun terakhir, telah memicu bencana hidrometeoroligis (kering dan basah) yang mengancam keanekaragaman hayati dan kehidupan manusia. Krisis iklim juga menjadi ancaman serius bagi Tanah Papua. Dilaporkan sebanyak 24 orang meninggal akibat gagal panen karena cuaca ekstrim di Distrik Amuma, Yahukimo2. Sayangnya krisis iklim minim mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah, pusat dan bahkan kepala negara di dunia yang terkesan abai.
dengan situasi saat ini , apabila suhu bumi mencapai 1,5 derajat celcius atau lebih, maka bisa dipastikan semua mahluk diambang “kepunahan”.
Pada bulan November 2023 yang akan datang , akan dilaksanakan Conference of the Parties (COP) ke 28 atau Konferensi Para Pihak anggota The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Dubai, Uni Emirat Arab. Konferensi Tingkat Tinggi bidang Perubahan Iklim itu menjadi momentum penting untuk meningkatkan upaya pengendalian dan komitmen pemimpin dunia aar peningkatan suhu bumi global tidak mencapai 1,5 derajat celcius atau lebih.
Pada laporan dengan judul ‘Stop Baku Tipu’; Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di provinsi Papua dalam rentang 2011-2019. Hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000, atau hampir dua kali luas pulau Bali. Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hingga 2019, berdasarkan analisis CIFOR telah ada seluas 168.471 hektar hutan alam di Provinsi Papua yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Jumlah ini akan terus bertambah seiring bertambahnya pelepasan kawasan hutan dan izin perkebunan3. Padahal seperti kita ketahui hutan alam sangat berarti bagi masyarakat adat Papua, mereka menyebutnya sebagai “apotik alami”, “supermarket” dan “ATM” . Hutan Alam di Tanah Papua merupakan hutan alam terluas yang tersisa di Indonesia, kini mendapatkan ancaman deforestasi
Berdasarkan uraian diatas, maka kami menyatakan sikap :
- Mendesak para capres-cawapres memiliki komitmen yang serius dan konkret untuk berpihak pada rakyat dan melepaskan diri dari agenda oligarki. Sudah cukup dampak buruk yang dirasakan rakyat akibat menguatnya kekuatan ekonomi-politik oligarki di Indonesia. Tunjukkan komitmen dalam dokumen visi-misi yang diserahkan ke KPU RI.
- Menyerukan kepada para pemuda, bahwa satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari cengkraman oligarki dan menyelamatkan lingkungan adalah dengan membangun ulang Indonesia melalui aksi dan solusi yang efektif.
- Menyerukan kepada pemuda untuk memperkuat kapasitas dan menumbuhkan semangat dan kesadaran lingkungan yang tinggi, untuk menjadi agen perubahan dalam penyelamatan lingkungan. Serta membentuk sebuah ekosistem pada generasi muda yang memiliki perspektif untuk menjaga lingkungan hidup.
- Menuntut pemerintah pusat dan provinsi diseluruh Tanah Papua untuk segera mereview dan mencabut seluruh ijin perkebunan sawit, tambang dan HPH di Tanah Papua yang bermasalah, merampas ruang hidup masyarakat adat Papua- menimbulkan pelanggaran HAM dan memicu deforestasi di Tanah Papua. Menyelamatkan Hutan Alam di Tanah Papua harus menjadi prioritas , karena hutan alam Tanah Papua adalah Benteng Krisis Iklim.
- Menuntut pemerintah pusat dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) masyarakat adat sehingga ada instrument hukum yang memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat serta adanya landasan hukum yang mengikat antara negara, investasi dan masyarakat adat untuk memastikan interaksi dan praktik antarketiganya didasarkan pada Hak Asasi Manusia.
- Menyerukan dan mengingatkan kepada seluruh pemimpin di dunia di COP28, bahwa menjadi penting berkomitmen mengurangi emisi karbon, karena emisi karbon semakin meningkatkan suhu bumi naik hingga 1,5 derajat celcius, maka diproyeksika akan berdampak kepada banyak hilangnya keanekaragaman hayati dan kepunahan massal yang mengancam semua kehidupan di muka bumi.****