Kolumnis

Dilema Pilkada oleh Parlemen Daerah

  Laporan : Suara Riau
   : info@suarariau.co
  2024-12-19 22:23:25 WIB
Ist

SuaraRiau.co -

Oleh: Iman Munandar, S.H., M.H * 

KEPALA Daerah merupakan pemimpin yang dihasilkan melalui pemilihan secara demokratis dan langsung. Wacana memilih kepada daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung memantik kecurigaan publik, bahwa kepala daerah yang dipilih hanya akan ditentukan oleh beberapa puluh orang saja di DPRD. Melihat perkembangan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta hancurnya etika elit politik, baik di tingkat nasional terlebih tingkat daerah yang terlihat secara gamblang di hadapan rakyat, tentu upaya tersebut adalah momok terbesar ke depan.

Pemilihan kepala daerah oleh rakyat seyogyanya tidak dibenturkan pada ongkos politik yang terlalu mahal. Jika saja partai politik telah memiliki kekuatan struktural ke bawah, proses kaderisasi yang kuat serta peran pemerintah memberikan pendidikan politik yang seharusnya kepada masyarakat. Implementasi pilkada yang sedang berlangsung saat ini adalah bagian dari proses demokrasi yang baik.

Masyarakat tidak semestinya dijadikan objek bersalah terhadap mahalnya ongkos politik para calon kepala derah. Di beberapa kejadian, kepala daerah yang berhasil memenangi Pilkada yang dipilih oleh rakyat, kenyataannya bukan berasal dari keluarga kaya raya. Bahkan ada kandidat yang memiliki harta hanya ratusan juta namun dapat memenangkan kontestasi Pilkada. 

Namun tidak dapat dipungkiri juga, bahwa ada kandidat yang secara sengaja menghambur-hamburkan uang hingga puluhan bahkan ratusan milyar faktanya gagal memenangi kontestasi Pilkada.

Mahalnya ongkos politik justru bukan hanya terjadi pada Pilkada yang dipilih oleh rakyat. Justru ongkos politik terbesar adalah akumulasi total seluruh biaya para Caleg DPRD Provinsi hingga Caleg DPRD Kab/Kota. Di banyak tempat, seorang Caleg DPRD Provinsi maupun Kabupaten Kota yang bertempur pada Pileg,dapat menghabiskan dana hingga milyaran rupiah. 

Tentu ini menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah dan partai poltik untuk memperbaiki sistem Pemilu Parlemen yang kenyataannya jauh lebih mahal dari pada Pilkada.

Upaya mengubah pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat terindikasi hanya sebagai keinginan sekelompok elit berkuasa hingga tingkat kabupaten/kota dengan membentuk oligarki. 

Hal ini juga merupakan tindakan merampas hak masyarakat yang selama ini telah diberikan. Tentu mayoritas masyarakat tidak akan menerima tindakan mutilasi hak masyarakat tersebut. 

Tindakan yang bersikap pemaksaan melalui revisi Undang-undang oleh mayoritas elit yang berkuasa demi melanggengkan Pemilihan kepala daerah oleh DPRD, sangat kentara sebagai upaya terstruktur menguasai kepala-kepala daerah.

Negara harus dapat memberikan penghormatan kepada hak warga memilih secara langsung pemimpin mereka di daerah, bukan malah merusak tatanan yang seharusnya diperbaiki oleh negara, agar sistem demokrasi langsung melalui rakyat lebih baik dan matang. 

Parlemen seharusnya lebih fokus memperbaiki tata kerja fungsinya (anggaran, legislasi, pengawasan) agar dapat lebih bermanfaat untuk masyarakat. 

Menambah fungsi perlemen daerah untuk memilih kepada daerah akan semakin membuat tumbuh suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan elit. 

Rakyat hanya akan dijadikan sapi perahan pajak, rendahnya kualitas pelayanan publik dan dan buruknya tanggung jawab kepala daerah kepada rakyat akibat tidak lagi dipilih oleh rakyat

Indonesia yang berpeluang menjadi negara maju, diharapkan tidak mundur dalam praktik demokrasi Pilkada. Masyarakat secara langsung wajib diberikan kesempatan memilih pemimpinnya. Penguatan praktik-praktik demokrasi adalah tugas utama pemerintah dan partai politik. 

Harapan bersama tentu di zaman yang sudah sangat maju, keterbukaan informasi, kemajuan teknologi tentu yang diharapkan adalah pemerintah serius dan mampu meningkatkan taraf hidup dan penghasilan masyarakat serta membuka peluang berusaha dan lowongan kerja sebesar-besarnya. 

Kita tentu berharap tidak malah terjebak hanya pada pesta demokrasi rakyat yang berlangsung sekali lima tahun saja. *** 

*Pegiat Demokrasi

Penulis : Suara Riau
Editor : siswandi
Kategori : Kolumnis