Oleh: Zufra Irwan, Ketua Komisi Informasi Provinsi Riau
Pro dan kontra penunjukan Penjabat Walikota Pekanbaru dan Penjabat Bupati Kampar, Riau oleh Mendagri Tito Karnavian, benar-benar menghebohkan Negeri Melayu Lancang Kuning. Polemik ini jadi perdebatan yang tak berujung. Tidak saja karena Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendagri, tidak "menghargai" wibawa Gubernur Riau (Gubri) sebagai wakil pusat di daerah, karena ternyata Penjabat (Pj) kedua daerah yang ditunjuk Mendagri adalah figur yang bukan usulan Gubri (Gubernur Riau).
Yang lebih tidak masuk akal prosedural normal, Penjabat (Pj) yang ditunjuk itu ternyata adalah juga "anak buah" Gubri sendiri.
Untuk Pj Bupati Kampar Kamsol yang menjabat sebagai Kadisdik Provinsi Riau.
Sementara untuk Pj Kota Pekanbaru adalah Muflihun yang telah dipercaya Gubri sebagai Sekwan Provinsi Riau.
Seperti yang sudah diketahui publik, nama-nama yang diusulkan Gubri pada 26 April 2022 lalu adalah enam pejabat di lingkup Pemprov Riau, yakni Boby Rahmat (Kadispora), Masrul Kasmy (Asisten I Setdaprov Riau) dan M Edy Afrizal (Kepala BPBD Riau) untuk calon Pj Wako Pekanbaru.
Kemudian, Imron Rosyadi (Kadisnaker), Roni Rakhmat (Kadispar) dan Zulkifli Syukur (Karo Kesra Setdaprov Riau) untuk calon Pj Bupati Kampar.
Lalu, kenapa SK Pj kedua daerah itu ternyata di luar usulan Gubri?
Memang ada yang berpendapat bahwa Mendagri berwenang menunjuk Pj di luar usulan gubernur berdasarkan Permendagri No 1 tahun 2018 pasal 5 ayat 3.
Walau kalau kita baca Permendagri itu sebenarnya mengatur Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota. Lalu diperlukan menunjuk Pejabat Sementara atau PJs.Entahlah kalau ada "pasal-pasal" lain yang jadi payung hukum.
Apakah Permendagri ini relevan dalam soal penunjukan Pj? Tentu ini juga menjadi penting untuk diperdebatkan.
Namun yang pasti, kasus penunjukan Pj di luar usulan gubernur, tentu menimbulkan banyak pertanyaan baru.
Apalagi, Mendagri juga tidak menjelaskan alasan yang pasti kepada publik tentang keputusan penunjukan di luar usulan gubernur itu.
Tidak usah kepada publik, kepada gubernur pun dikabarkan sama sekali tidak ada penjelasan tentang hal itu.
Gubernur hanya diminta mengusulkan, tapi siapa yang ditunjuk Mendagri, gubernur tidak perlu ikut campur, kenyataanya memang seperti itu.
Makanya tidaklah mengherankan, jika banyak gubernur di daerah lain kecewa dengan proses penunjukan Pj seperti ini.
Kasus seperti di Riau kabarnya juga terjadi di provinsi lain, seperti Jabar, Jateng, Sumbar dan lainnya.
Semestinya, jika usulan gubernur tak diperlukan pusat, lalu untuk apa gubernur diminta mengusulkan.
Atau, kalau pun pusat hanya ingin memenuhi syarat prosedural, terkait perlunya usulan gubernur, tapi pusat sebenarnya punya calon sendiri, tentu Pemerintah Pusat tinggal berkomunikasi saja dengan gubernur.
Apa susahnya!
Tidak mesti dengan cara-cara yang justru menjatuhkan marwah gubernur di depan publik yang dia pimpin dan di depan anak buahnya sendiri.
Proses penunjukan Pj yang benar-benar tidak transparan ini, tentu saja dan jelas sudah mengangkangi UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Apa lagi sejak sepekan terakhir banyak pihak, pengamat dan tokoh yang mengomentari proses penunjukan pejabat kepala daerah ini. Dan ini sebuah informasi yang ditunggu masyarakat. Undang-undang KIP memerintah, kira-kira bunyinya seperti ini. Ketika sebuah informasi Menyangkut hajat hidup orang banyak, badan publik WAJIB mengumumkannya. Namanya informasi serta-merta. Semestinya, Komisi Informasi Pusat (KIP) segera mendorong DPR RI untuk meminta penjelasan Mendagri, kenapa sampai terjadi kondisi yang kurang kondusif ini.
Akibat proses yang terkesan tidak transparan itu pula, serta-merta menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat.
Karena tidak transparannya pemerintah pusat, bisa jadi muncul informasi yang bersifat hoak, masyarakat menduga-dugansendiri. Lalu, yang salah hoak lagi, pemerintah tidak salah? Misalnya, apa benar penunjukan Pj ini sarat dengan politik dagang sapi. Sehingga yang dipercaya akhirnya adalah orang-orang yang berkantong tebal atau mavia rente yang mungkin dapat celah masuk dalam kekuasaan.
Bahkan, anggapan yang lebih ekstrim di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, mereka diduga di-support oleh cukong-cukong aliran hitam, lalu salahkah masyarakat menduga-duga.? Kiranya, amat sangat pantas pertanyaan ditujukan kepada Tito Karnavian, selaku Mendagri agar menjelaskan pro dan kontra di tengah masyarakat saat ini. Jawaban Mendagri ini kiranya penting agar masyarakat juga bisa memahami, apa yang diinginkan Mendagri, sekaligus menguji komitmen Tito Karnavian mewujudkan tatakelola pemerintahan yang transparan. Karena itu, kiranya sangat beralasan juga DPR RI memanggil Mendagri menjelaskan masalah ini.
Jika ini tidak publis secara transparan, tentulah akhirnya rakyatlah yang dirugikan, pemerintah dan kita semua tentu akan dirugikan atas segala ekses yang ditimbulkan. (***)