Kolumnis

Peranan Filsafat Ilmu Terhadap Perkembangan Ilmu Bahasa

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2021-10-13 13:42:02 WIB
Desi Sukenti, S.Pd, M.Ed (Dosen FKIP Universitas Islam Riau/IST)

SuaraRiau.co - Sepanjang sejarah peradaban manusia, filsafat telah menjadi sebuah ilmu sebagai dasar pemikiran yang mendapat perhatian sangat dalam karena filsafat memberikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Apalagi, ada hubungan kuat antara filsafat dan bahasa. Hal ini terjadi menjadi hal pertama sebelum bahasa lahir. Linguistik dipelajari oleh para filsuf, bukan oleh ahli bahasa. Sebelum tangan, filsuf paling menggunakan analisis bahasa untuk memecahkan masalah filsafat. Kemudian, sebagai alat analisis, bahasa telah dipelajari, didiskusikan dan diperdebatkan. Analisis aktivitas yang telah menghasilkan antusiasme untuk filsuf untuk menciptakan sebuah paradigma baru dalam bahasa sebagai arti teoretis dan kemudian akhirnya mendirikan inovasi baru untuk membuat koreksi pada bahasa. Semua sejarah kronologis bahasa yang dibangkitkan dari intuisi telah menjadi keturunan dari bahasa saat ini kita gunakan untuk memilikinya sekarang.

Berbicara tentang filsafat ilmu, perlu diajukan suatu pertanyaan pada diri sendiri, sejauh mana cabang filsafat ini mempunyai makna dan relevansi dengan masalah-masalah praktis yang urgen dan mendesak, yang menuntut penyelesaian secara praktis, seperti,masalah lapangan kerja bagi lulusan perguruan tinggi, semakin terbatasnya dana dan fasilitas pendidikan, dls. Seiring dengan itu ada satu anggapan bahwa kehadiran filsafat ilmu ini terlalu dini di satu pihak, namun juga dianggap terlambat di pihak lain.Masih terlalu dini karena oleh sementara kalangan dianggap sebagai suatu kemewahan, non-ekonomis, membuang-buang waktu, sulit dimengerti, tidak pragmatis; namun juga sudah agak terlambat karena semakin terasa adanya berbagai masalah fundamental yang membutuhkan landasan pemikiran yang mendasar dalam menanggulanginya, seperti,masalah kebebasan mimbar dan akademik, peningkatan mutu pendidikan yang kurang jelas ukurannya, Ilmu filsafat dan filsafat ilmu (barat)

Secara historis ilmu filsafat berbeda dengan filsafat ilmu. Ilmu filsafat berarti filsafat sebagai cabang ilmu, sedangkan filsafat ilmu berarti filsafat mewarnai seluruh disiplin keilmuan. Filsafat sebagai ilmu tidak jauh beda dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain.

Dalam artian memiliki sistematika, yakni pertam Gegenstand, yaitu suatu objek sasaran untuk diteliti dan diketahui menuju suatu pengetahuan, kenyataan, atau kebenaran. Kedua Gegenstandtadi terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti. Ketiga setelah itu ada alasan atau motif tertentu, dan dengan cara tertentu mengapaGegenstandtadi terus-menerus dipertanyakan. Dan keempat rangkaian dari jawaban yang dikemukakan kemudian disusun kembali ke dalam satu kesatuan sistem.

Menurut Koento Wibisono, ilmu filsafat adalah ilmu yang menunjukkan bagaimana upaya manusia yang tidak pernah menyerah untuk menentukan kebenaran atau kenyataan secara kritis, mendasar, dan integral. Oleh karena itu dalam filsafat, proses yang dilalui adalah refleksi, kontemplasi, abstraksi, dialog, dan evaluasi menuju suatu sintesis. Ilmu filsafat (filsafat sebagai ilmu) mempertanyakan hakikat (substansi) atau “apanya” dari objek sasaran yang dihadapinya dengan menempatkan objek itu pada kedudukannya secara utuh. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu cabang yang lain, yang hanya melihat pada satu sisi atau dimensi saja.

Ilmu filsafat dalam menghadapi objek material manusia, yang ingin dicari ialah apa hakikat manusia itu, apa makna kehadirannya serta tujuan hidup baik dalam arti imanen maupun transenden. Dengan melihat objek material manusia hanya pada satu sisi atau dimensi saja, ilmu-ilmu cabang tumbuh menjadi ilmu sosiologi, antropologi, hukum, ekonomi, politik, psikologi, dan lain sebagainya.

Di zaman modern, terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan inter-relasi ilmu menjadi semakin terasa dibutuhkan. Atau justru yang terjadi sebaliknya, antara ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lain saling terpisah secara dikotomis tanpa adanya kemauan untuk saling ”menyapa”.

Oleh karena itu diperlukan “overview” untuk meletakkan jaringan interaksi agar berbagai disiplin ilmu bisa “saling menyapa” menuju hakikat ilmu yang integral dan integratif. Kehadiran etik dan moral menjadi semakin dirasakanpentingnya.Sikap pandang bahwa “ilmu adalah bebas nilai” semakin ditinggalkan. Tanggung jawab dan integritas seorang ilmuwan kini sedang diuji.

Dalam perjalanannya kemudian, timbul kebutuhan untuk mengembangkan filsafat ilmu(philosophy of science), yang memang amat penting dalam memberikan nilai atau aksiologi terhadapperkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping juga penting untuk memberikan batas-batas keilmuan agar tidak kabur. Akhirakhir ini filsafat ilmu (ilmunya ilmu) juga digalakkan di kalangan beberapa perguruan tinggi atau program studi demi menghadapi implikasi-implikasi -baik positif maupun negatif-perkembangan ilmu pengetahuanbagi kehidupan umat manusia.

Filsafat (ilmu –pen.) sebagai ilmu kritis,diharapkan ikut berperan sebagai dasar dan arah dalam penyelesaian masalah-masalah fundamental di bidang sosial, ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Selain itu, filsafat ilmu diharapkan mampu menjadi mitra dialog dan sarana kritik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Filsafat ilmu merupakan kelanjutan daripada epistemologi. Epistemologi merupakan pengetahuan yang mendasarkan diri pada sumber atau sarana tertentu seperti panca indera, akal (verstand), akal-budi (vernunft) dan intuisi. Dari situ berkembanglah berbagai macam “school of thought”, yakni rasionalisme (Descartes), empirisme (John Locke), kritisisme (Immanuel Kant), positivisme (August Comte), fenomenologi (Husserl), eksistensialisme (Sartre) konstruktivisme (Fayerabend), danseterusnya.

Hakikat ilmu yang merupakan tiang penyangga bagi eksistensi ilmu dan menjadi objek formal filsafat ilmu adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.Ontologi ilmu meliputi hakikat ilmu, kebenaran, dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu.Faham Monisme yang terpecah menjadi idealisme/spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme, dengan berbagai nuansanya, merupakan faham ontologik yang pada akhirnya menentukanpendapat bahkan “keyakinan” mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicari.

Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata-cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan dipilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi, eksistensialisme, konstruktivisme.

Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau keyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti, kawasan sosial, simbolik, atau fisik-material. Lebih Dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi sebagai suatu “condition sine quanon” yang wajib dipatuhi dalam kegiatan manusia, baik dalam melakukan penelitian maupun dalam penerapan ilmu. Sementara itu objek material dari filsafat ilmu adalah segala ilmu pengetahuan.

Filsafat ilmu dalam Islam mengenal tiga aliran besar; bayani (telaah teks), irfani (rasio-intuisi), dan burhani (empiri). Paradigma filsafat ilmu Islam merentang dari empirik-sensual, empirik-logik, empirik-etik, dan empirik-transendental. Filsafat ilmu Barat tidak menyentuh dataran empirik-transendental.

Kawasan ilmu dalam Islam, oleh Noeng Muhadjir disebut dengan non-tasyri’ atau cum scientific (dalam bahasa Mukti Ali). Hal ini meliputi tajdid dan ijtihad atau usaha pembaharuan. Ini bisa berupa pembuatan telaah secara baik dalam wujud tafsir atau ta’wil dari wahyu pada persoalan yang bisa dijangkau akal; bukan persoalan yang ghaib seperti dzat Allah, sebab itu adalah urusan Allah, dan akal tidak akan dapat mencapai pemahaman yang baik, bahkan bisa mengarah pada kesesatan. Dalam bahasa Amin Abdullah, kawasan ilmu dalam islam disebut dengan historisitas.

Dalam perkembangannya, filsafat ilmu irfani menjurus dalam aksentuasi yang beragam. Irfani yang lebih menekankan intuisi berkembang ke ilmu kalam dengan telaah dialektik addalaalah (dalil-dalil), yang akhirnya menolak telaah filsafat. Irfani yang dikembangkan dalam fiqh mengarah ke telaah dialektika al-’illah (argumentasi); mendialektikakan antara kata dan makna. Irfani dalam tafsir mengarah ke epistemologi lughawiyah (bahasa); membuat telaah tekstual dan menggunakan logika koherensi. Filsafat ilmu bayani menjadi aliran dominan dalam ulumiddin (ilmu-ilmu agama). Irfaniberkembang secara beragam dan juga dominan dalam ulumiddin. Sementara burhani tidak begitu punya tempat untuk berkembang dalam ulumiddin.

Filsafat ilmu Barat menempatkan empiri sebagai sarana yang dominan. Rasio perlu tunduk pada bukti empiri. Pada zaman Rasulullah Saw. banyak empiri menjadi landasan keputusan Rasul. Ketika Rasul menawarkan strategi perangnya, ada sahabat yang bertanya, apakah itu wahyu atau pendapat Rasul? Oleh karena itu pendapat Rasul maka Rasul menerima strategi yang ditawarkan oleh sahabat.

Dikatakan bahwa Yunani merupakan induknya ilmu murni, sedangkan Islam adalah induk teknologi. Mengapa umat Islam sekarang memusuhi teknologi? Memang iptek dahulu adalah teistik, sedang iptek sekarang sekuler. Tugas ilmuwan muslim adalah mengembalikan iptek menjadi teistik. Filsafat paripatetik (diskusi jalan-jalan) Yunani telah ditradisikan dalam filsafat Islam Andalusia, yang corak kerjanya dengan metode eksperimental dengan pembuktian logika matematik-korespondensi. Dapat dibayangkan bagaimana rumitnya matematika bila menggunakan angka lain selain Arab (0). Arti angka 0 memecahkan arti filsafat spekulatif Yunani; tidak ada yang ada.

Dengan demikian jalur tradisi keilmuan iptek sekarang adalah Yunani sebagai induk ilmu yang lebih konseptual teoritik. Sementara iptek yang sekarang berkembang dalam integrasi rasionalitas dengan pencermatan empirik-eksperimental telah dirintis ilmuwan Islam Andalusia. Persoalannya, mengapa Islam tertinggal saat ini? Umat Islam telah memilih menyelamatkan hidup di akhirat dan meninggalkan dunia. Padahal Allah telah menjanjikan bahwa hidup di dunia memberikan kebaikan bagi yang beriman dan yang tidak beriman. Kehidupan akhirat memberikan kebahagiaan bagi yang beriman.

Beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan, antara lain.

Bahasa Sebagai Sistem, Keyakinan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenarannya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik.

Bahasa Sebagai Lambung, Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas darisimbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer, 2007: 39)

Bahasa adalah Bunyi, Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika.

Bahasa Itu Bermakna, konsep ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata.

Bahasa itu universal.Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenalsebagai universalitas bahasa.

Peranan filsafat dalam memajukan bahasa memiliki warna berbeda pada tiap periode perkembangan bahasa. Setidaknya ada landasan filsafat yaitu filsafat ilmu dan filsafat ilmu Islam.Penguasaan ilmu secara canggih dengan kemampuan prediktifnya akan membantu manusia dalam mengelola kehidupan untuk meraih citra masa depan. Sesuatu yang dipertaruhkan adalah masa depan para generasi penerus yang pada saatnya harus siap melanjutkan kepemimpinan yang arif dalam mengelola kehidupan sebagai suatu bangsa yang besar dan terhormat.

Dari situ, diperlukan sarana untuk membuat sang ilmuwan menjadi arif dan bijaksana. Diperlukan juga adanya sesuatu yang mendasari perkembangan ilmu bahasa dan agar kehadirannya lebih banyak berimplikasi positif daripada negatifnya. Menurut beberapa pakar, bahwa yang bisa menjadikan tonggak aksiologis dalam mengarahkan perkembangan iptek secara positif untuk kepentingan umat manusia dan lingkungannya adalah filsafat ilmu Bahasa.

Dalam dunia pengajaran bahasa, filsafat juga memberikan jalan yang sangat luas, dimulai dari teori-teori tentang pemerolehan bahasa baik berdasarkan pandangan behaviorisme, kognitivisme, dsb. Teori-teori tersebuttentu didasarkan pada pernyataan-pernyataan filsafat dari filsuf kenamaan padazaman-zaman sebelumnya. Secara praktis, dapat kita ambil sebuah contoh. Dalam pengajaran menulis, kita sering disuguhkan dengan dua teknik utamapenyampaian ide, apakah secara induktif dan deduktif.Induktif mengikuti filosofi empirisme yang bertitik tolak dari fakta-fakta yang bersifat khusus dan dengannya mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada sisi lain, deduktif berpedoman pada aliran rasionalisme dengan bertitik tolak dari sesuatu yang umum untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat khusus. Kedua metode ini sangat membantu dalam proses belajar menulis.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, filsafat telah memberikan kesempatan pada bahasa untuk dimunculkan sebagai salah satu cabangnya. Seperti dipahami, filsafat cenderung untuk mencari kebenaran akan sesuatu, sehingga untuk mendapatkan kebenaran itu sebuah objek harus dilihat secara mendalam,yaitu meneliti secara lebih detail apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya. Identik dengan hal itu, pernyataan-pernyataan filsafati akan dapat dipahami berdasarkan bentuk bahasa yang dipergunakan untuk mencapaikan isi atau makna. Oleh karena itu, makna terealisasi oleh bentuk bahasa.(Desi Sukenti, S.Pd, M.Ed Dosen FKIP Universitas Islam Riau (UIR) dan juga mahasiswa Ilmu Keguruan Bahasa Program Doktor Universitas Negeri Padang (UNP).

 

 

.

 

 

 

 

 

 

Halaman :
Penulis : Suarariau.co
Editor : Elpi Alkhairi
Kategori : Kolumnis