SuaraRiau.co -Kampoeng Panglong, Bintan– Sebagai perempuan dari suku laut, Monika (53) terbiasa hidup di atas air, dikelilingi hutan bakau yang tumbuh hijau. Baik tidur, beraktivitas, maupun bersenang-senang, semua ia lakukan di atas air. Bagi Monika, itulah tempat terindah.Demikian kenang Monika yang ditemui suarariau.co di sela sela kunjungan field trip jurnalis fellowship SIEJ, 11-14 Maret lalu ke Desa Berakit Teluk Sebong Bintan, Kepulauan Riau.
Meski perumahan warga Kampung Panglong, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan telah direlokasi beberapa tahun lalu, namun bagi Monika masih sesekali tidur di rumah sampannya, sambil menikmati hijaunya alam bakau sekitar Desa Panglong, Teluk Sebong, Bintan.
"Bagaimanalah, kami dari suku laut, kalau tak ke laut rasanya tidak senang," ujarnya sambil tersenyum dengan suaranya yang serak.
Menurut Monika, keindahan alam bakau milik desa sudah ada sejak ia masih kecil. Namun sempat rusak ketika dapur arang mulai mengepul sebagai alternatif warga mencari nafkah.
Sebelum perusahaan arang bakau dibuka di era tahun 2.000-an, program penanaman bakau di Kampung Panglong terinspirasi oleh pasangan dari Singapura yang datang ke daerah tersebut. Penanaman dilakukan di sepanjang Sungai Beru yang juga berlokasi di kampung tersebut.
Ketika ditemui oleh suarariau.co dalam kunjungan lapangan ke Bintan pada 11–14 Maret 2025, Monika yang sedang duduk di salah satu pondok titian di ujung dermaga kayu bercerita tentang kondisi mangrove di kampungnya.
Ia mengungkapkan, bahwa ketenangan bentangan mangrove terganggu sejak berdirinya dapur arang pada era 2000-an. Penebangan bakau yang terus-menerus untuk produksi arang menyebabkan hasil tangkapan ikan nelayan menurun drastis. Akibatnya, kehidupan mereka menjadi sulit, bagaikan masa paceklik. Pendapatan suaminya sebagai penangkap kepiting pun semakin mengkhawatirkan.
Menurut Monika, saat bentangan mangrove masih dalam kondisi baik, kerang, kepiting laut, udang, serta gamad (teripang) sangat mudah diperoleh. Hal ini karena bakau menjadi rumah dan tempat berkembang biak bagi biota laut tersebut masih tumbuh subur. Monika bersyukur karena kini pemerintah telah melarang penebangan bakau.
Sambil mengarahkan pandangannya ke bentangan hutan bakau, Monika bercerita bahwa sebelum rumah arang berdiri, pada tahun 1995–1996, sepasang suami istri dari Singapura datang berkunjung ke kampungnya. Pasangan tersebut sangat peduli terhadap kelestarian mangrove. Monika bersama suaminya, bernama Top, ikut menanam bibit bakau sebanyak 500 hingga 700 pohon. Kala itu, semangatnya semakin bertambah karena setiap bibit dalam polibag kecil dihargai Rp1.500.
"Siapa yang tidak mau jika bekerja diberi uang?" ujarnya.
Meski terkadang tanpa suaminya, ia pergi rutin mendayung sampan ke Sungai Beru, sekitar Kampung Panglong, untuk menanam bibit di lokasi yang kritis. Bahkan Monika menanam hingga ke pulau-pulau kecil di sekitar kampung, seperti Pulau Sumpat, yang tampak terlihat dari kejauhan seperti gunung kembar dari tempat Monika duduk.
Menurut Monika, pecinta lingkungan bakau tidak hanya pasangan dari Singapura itu, tetapi juga beberapa pengusaha lain yang peduli terhadap kelestarian hutan bakau.
"Dia selalu berjalan-jalan dengan sampan bersama kami untuk melihat apakah bakau-bakau tersebut tumbuh dengan baik," katanya.
Namun, ketika rumah arang mulai beroperasi pada era 2000-an, lingkungan menjadi lebih panas dan hasil laut menurun akibat penebangan bakau. Penghasilan warga semakin berkurang, dan mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan. Tawaran bekerja di rumah arang pun mereka terima demi menyambung hidup. Saat itu, pekerjaan ini menjadi solusi sementara bagi kesulitan ekonomi mereka. Namun, seiring waktu, mereka menyadari bahwa penebangan bakau merusak lingkungan. Ketika akhirnya pemerintah melarang penebangan bakau, rumah arang pun tinggal kenangan, meninggalkan banyak cerita bagi warga.***