Eco

'Ngetem Raksasa Lembut' Satwa Kunci Penjaga Hutan di WK Rokan

  Laporan : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2023-08-31 06:53:47 WIB
Gajah jinak di Pusat Pelatihan Gajah (PLG Minas, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, bersama mahot, Selasa (18/7/2023).(FOTO/SRc/Imelda Vinolia).

SuaraRiau.co -PEKANBARU-Langkah kaki dan hembusan nafasnya yang besar serta lengkingan suaranya yang nyaring, memecah suasana alam lokasi hutan raya tropis di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Minas, Balai Besar Konservasi Sumber daya Alam, Riau.

Melihat satwa liar bertubuh raksasa dan berhati lembut ini, beratnya  bisa mencapai  3-5 ton. Berjalan di hutan hujan, menginjak dan memakan tumbuhan vegetasi. Mereka menipiskan pohon-pohon muda yang tumbuh bersaing untuk mendapatkan ruang, melintasi sungai, dan cahaya, telah memberikan ruang bagi pohon lainnya untuk tumbuh tinggi menjulang memelihara pertumbuhan hutan tropis di kawasan Riau.

Hal ini berarti, memelihara lingkaran kehidupan di bumi Lancang Kuning. Populasinya yang terancam menyebabkan satwa liar ini sudah sangat sulit ditemukan.Meski dulunya Riau sebagai tempat populasi terbesar Gajah Sumatera.

Begitu menakjubkan melihat tingkah dan kehidupan gajah, ketika puluhan jurnalis di Pekanbaru diberi kesempatan berkunjung ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) pada Selasa (18/7/2023) lalu. Meski panas terik menyengat, tidak membuat semangat jurnalis memanfaatkan kesempatan yang  sangat jarang bisa diperoleh ini, digunakan untuk mengenal konservasi kehidupan “raksasa” penjaga hutan di Wilayah Kerja (WK) Rokan tersebut.

PLG Minas berlokasi sekitar 2 km di sisi kiri  dari simpang keluar Gerbang Tol Minas. Paska melewati sepanjang jalan gerbang tol itu, mata pengunjung akan menatap kilatan dari tabung panjang pipa aliran minyak dan gas milik PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Ukurannya lebih kecil dibandingkan pipa di lokasi lainnya. Sekitar 3 km berjalan di  tanah yang dominan berwarna kuning tersebut, maka akan sampai di gerbang gapura PLG  (Minas) BBKSDA Riau. Kepala Seksi Konservasi BBKSDA Riau Wilayah IV, Azmardi Kamil beserta staff dan mitranya menyambut kunjungan tersebut.

Terasa oleh penciuman kita hawa bau satwa liar tersebut. Sedangkan jejak gajah akan terlihat, ketika hampir mendekati bagian utama dari gerbang PLG. Beberapa sisi  tampak ujung relief tanah yang berbentuk semenanjung dimana rantai besar terletak di tengah semenanjung sisi kiri jalan masuk. Beberapa meter lainnya ada di sebelah kanannya.

Sekitar lebih kurang 50 meter, kita akan sampai di bagian utama gedung pusat pelatihan gajah. Kondisi terik tiba-tiba hilang seketika, memasuki lokasi yang banyak ditumbuhi pohon-pohonan yang tumbuh dengan jarak yang tertata rapi. Hal ini membuat suasana terik menjadi sejuk. Jangan terkejut. Jika dua ekor ayam mutiara yang langka dan antik dari Indonesia Timur menyambut para pengujung. Fenomena gerakan mondar-mandir kedua ayam yang lucu dan eksotis itu, memanjakan mata yang melihatnya. Sebab sejak pertama kali melihatnya, semua mata yang memandang tak lepas terus menatap tingkah kedua ayam berbulu keabu-abuan bintik hitam dan gendut itu. Hal ini membuat gemas dan mencoba untuk menangkapnya. Kedua ayam itu sedang menanti  untuk diberikan makanan. Tampak jinak. Namun sulit  dijamah. Apa lagi ditangkap. Suasana ini mendorong untuk lebih ingin tahu dan mengenal kondisi konservasi gajah di Blok Rokan.

Dua ekor ayam mutiara dari Indonesia Timur jadi penghuni PLG Minas, Selasa (18/7/2023).(FOTO/SRc/Imelda Vinolia)

Tak berapa lama kemudian beberapa ekor gajah tiba dengan mahot (pengembala gajah, red). Kedatangan satwa liar berbadan raksasa ini, membuat mata yang baru datang tampak lebih berbinar-binar. Namun tetap sedikit was-was terhadap satwa liar berbelalai tersebut. Gajah-gajah itu dengan jinak berdiri berjejer di dekat tempat duduk kayu balok panjang. Satwa liar rantai puncak makanan ekosistem ini, menanti untuk diberikan potongan-potongan besar buah nenas dan semangka yang ditaruh di bangku panjang balok yang berjarak 1,5 meter dihadapannya. Pihak PHR membawa buahan tersebut, sebagai buah tangan bagi gajah, agar satwa yang suka makan tumbuhan itu, senang menerima pengunjungnya.

Satu-satu para jurnalis mencoba ‘beramah-tamah’ ingin dekat dengan gajah yang beratnya bisa mencapai 1-3 ton. Awalnya takut-takut. Salah satu jurnalis mencoba memasukkan makanan ke salah satu mulut gajah. Tiba-tiba ia terkejut ketika tangannya mencapai mulut sang gajah yang menganga lebar. “Ops!” ujarnya  menarik tangannya secara refleks kembali. Membuat potongan semangka jatuh, tidak sampai masuk ke mulut gajah. Kemudian ia coba lagi dengan panduan mahot.Setelah beberapa saat, akhirnya berhasill. Jurnalis lainnyapun juga mengikuti untuk memberikan buah-buah tersebut.

Nuansa bunyi-bunyian alam hutan, endusan dan helaan nafas gajah sesekali terdengar. Hembusan udara keluar dari hidung dengan tekanan yang dalam dan lepas. Seperti bunyi bus sedang mengerem di jalan penurunan. Helaan nafas dan suara hewan liar ikon Sumatera tersebut, berbaur membuat cukup terasa hiruk pikuk suara gajah yang memecah luasnya alam di PLG Minas. Ditambah lagi suasana jadi ramai, ketika kerap kali terdengar suara gajah melengking bak terompet mengeluarkan ciri khas bunyiannya.

Asyiknya, Lihat Gajah Mandi di Sungai Takuwana

Bangsong (paling kiri), nama gajah jantan bergading tampak tidur menikmati sejuknya air Sungai Takuwana bersama kawanannya di Hutan Raya PLG Minas, Selasa (18/7/2023). (FOTO/SRc/Imelda Vinolia).

Mungkin tidak banyak yang tahu, kalau kebiasaan mandi  dua kali bukan saja kebiasaan manusia. Tetapi kewajiban mandi dua kali juga harus dilakukan gajah. Tak heran jika sewaktu-waktu masuk hutan, kawanan gajah ditemukan suka berjalan menyisiri dan singgah di sungai.

Usai makan buah-buahan, kawanan gajah jinak di PLG Minas tersebut juga demikian. Beriringan turun ke sungai. Sangat menarik melihat kawanan gajah tersebut turun ke Sungai Takuwana yang jernih yang jaraknya sekitar 300 meter dari bangunan PLG.

Mata gajah yang unik dan lucu dengan telinganya yang lebar serta berbelalai panjang, tampak masuk ke sungai dengan mimik tubuh kesenangan. Sesekali belalainya menyedot air membentuk pancuran ke atas. Menidurkan diri ke air dan sesekali berdiri kembali sembari kulitnya digosok mahot dengan bros lebih besar dari bros untuk menyuci kain. Bulunya dari bahan susunan potongan logam-logam yang disusun, yang menurut para mahot karena kulit gajah sangat tebal. Butuh bros yang lebih keras untuk membersihkan tubuh gajah-gajah tersebut.

Gajah induk sangat menikmati mandi di Sungai Takuwana, PLG Minas, Selasa (18/7/2023). (FOTO/SRc/Imelda Vinolia).

Sementara anak gajah bernama Togar yang berumur 7 tahun, tampak  “bahenol” dengan langkahnya lebih kecil dibandingkan gajah dewasa lainnya. Mimik mukanya yang lucu, juga ikut turun ke sungai. Gerak tubuh Togar kelihatan bahwa Togar seperti 'anak kecil' yang dikasihani dan disayang membuat yang melihatnya ‘gemes'. Pelan-pelan  Togar juga akhirnya sampai ke bibir sungai dan masuk ke dalam air. Ikut bergembira merasakan mandi di bawah mentari yang masih bersinar dengan teriknya.

Togar anak gajah yang berkelamin jantan dan berumur 7 tahun ikut mandi di sungai (FOTO/SRc/imelda Vinolia).

 “Ayo Togar, ujar para jurnalis. Diantaramya sudah melepaskan sepatu ikut masuk ke sungai yang dangkal itu, memandikan gajah dewasa (induk) yang telah lebih dahulu masuk ke sungai.

Togar pun, dengan senang hati menunjukkan kebolehannya berada di dalam sungai kecil yang jernih itu, menikmati air yang disiram ke tubuhnya oleh mahot dan para wartawan.

Menurut Mahot bernama Syahron (47), kesenangan gajah mandi ke sungai hingga dua kali sehari. Sebab, tubuh gajah yang besar tidak mengeluarkan keringat. Untuk  mengatasi suhu tubuhnya agar memiliki hawa yang sejuk, maka gajah paling senang mandi di sungai.”Apa lagi cuaca panas terik, selain ingin minum, gajah akan mengademkan dirinya ke air,” ujarnya.

Tampak kawanan gajah bersama mahot pulang dari sungai, menaiki jalan mendaki menuju     pusat PLG Minas.(FOTO/SRc/Imelda Vinolia)

Fenomena asyiknya gajah mandi di sungai jernih demikian, membuktikan masih tampak sisa indahnya kemolekkan hutan dengan sungai dangkal yang jernih berwarna tanah pasir pasang (pasir untuk membangun rumah,red) ini. Hal ini membawa imajinasi kita sejenak menikmati alam hutan raya tropis yang masih tersisa tersebut.

Bisa dibayangkan betapa indah dan megahnya suasana alam atas kehadiran raksasa lembut hutan Sumatera, dengan ekosistem di dalamnya.Terutama ketika hutan masih lebat. Namun sayang, kini penjaga hutan di Wilayah Kerja (WK) Rokan itu telah lama terancam punah akibat perambahan hutan.

Hilangnya 'Rumah Satwa Kunci' di Hutan Tropis Riau

Masifnya penghancuran hutan alam Riau, hampir tak menyisakan tempat bagi ruang hidup satwa liar. Menurut mantan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Woro Supartinah, dalam laporan 'Publik Review Perubahan Peraturan Perundang-undangan Terkait Hutan Tanaman Industri (PP dan Produk Hukum KLHK) Sejak 1996 – 2017' yang terbit Mei 2018, hal ini terjadi sejak saat perkembangan industri HTI dipromosikan sebagai sektor penyumbang pendapatan bagi negara, setelah sektor pertambangan minyak dan gas di Indonesia.

Menurut Koordinator Jikalahari Riau, Made Ali, setelah masuknya industri HTI dan sawit dampaknya tak hanya mematikan sumber hidup seperti air dan hasil hutan. Tetapi melenyapkan ruang hidup ‘satwa kunci’ Gajah dan Harimau Sumatera serta satwa-satwa lainnya yang selama ini yang tidak masuk dalam prioritas konservasi. Dampak lainnya, kerap kali terjadi interaksi negatif antara gajah dan manusia.

Kepala Seksi Konservasi BBKSDA Riau Wilayah IV, Azmardi di sela-sela kunjungan membenarkan dampak kepunahan satwa liar akibat masuknya era industry HTI dan Perkebunan sawit. Salah satunya berdampak pada kehidupan Gajah Sumatera.

Kepala Seksi Konservasi BBKSDA Riau Wilayah IV, Azmardi.(FOTO/SRc/Imelda Vinolia).

Azmardi menjelaskan Gajah di PLG merupakan bagian dari jenis Gajah Asia atau elephas maximus. Yakni memiliki tiga sub spesies yaitu Elephas Maximus IndicusElephas Maximus dan Elephas Maximus Sumatranus. Gajah Sumatera adalah salah satu sub spesies Gajah Asia. Nama ilmiahnya Elephas Maximus Sumatranus.

Status Perlindungan

Kepunahan gajah ini ujar Asmardi, telah mendorong komunitas-komunitas untuk bersatu melindungi satwa liar yang terancam. Hal ini sebagai bagian cara untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dimana satwa liar dan manusia dapat berkembang dan hidup secara harmonis.

Dasar perlindungan tersebut, dikeluarkan oleh International Union for Concervation of Nature (IUCN) atau Persatuan Internasional Untuk Konservasi Alam. Pada tahun 2011, jelasnya lagi, IUCN menetapkan status konservasi Gajah Sumatera kedalam kategori Critically Endangered (CR). Artinya, satwa ini berada diambang kepunahan. Status CR berada hanya dua tingkat dari status punah di alam liar dan punah sepenuhnya.

Kemudian perlidungan itu juga berdasarkan aturan atas status perdagangan flora dan fauna yang diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Infografis/SRc/Imelda Vinolia.

Hukum Republik Indonesia

Pengejewantahan perlindungan satwa liar turun ke negara-negara di dunia. Sementara status konservasi gajah Sumatera ujar Asmardi, dalam sistem hukum di Indonesia termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan UU No.5 tahun 1990 dan PP 7/1999. Status ini diberikan karena ancaman terhadap kelangsungan hidupnya semakin besar. Ancaman lain, karena perburuan untuk diambil gadingnya.

Sedangkan dalam lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Penetapan Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, gajah berada lembar pertama mamalia nomor urutan 51. Nama ilmiah yang diberikan pada tabel lampiran Elephantidae dan nama Indonesia Gajah Asia.

Kajian Daftar Merah IUCN

Pentingnya mengetahui kepunahan gajah tersebut suarariau.co mengeksplorasi data rangkaian hasil penilaian penelitian Gajah Asia oleh para ahli Tim Penilai Daftar Merah atau IUCNREDLIST (IUCN/International Union for Concervation of Nature) Gajah Asia. Adapun anggota Tim Assessment Gajah Asia tersebut antara lain: Gopala, A., Hadian, O, Sunarto, Sitompul, A, Williams, A., Leimgruber, P., Chambliss, S.E. dan Gunaryadi, D.

IUCN mencatat pada tahun 1965 perkembangan gajah masih sangat jarang. Tetapi dipastikan perkembangannya masih stabil atau meningkat.

Pada keterangan IUCN tersebut, Gajah Asia terdaftar sebagai Terancam Punah sejak tahun 1986 (E). Penilaian daftar merah selanjutnya yang dipublis dengan beberapa periode oleh organisasi persatuan internasional untuk konservasi alam tersebut, yakni pada tahun 1988 (E),1990 (E),1994 (EN),1996(EN),2008(EN).

Sedangkan hasil laporan IUCN  yang dipublis terakhir pada 18 September 2019 (terbit 2020,red) sangat jelas menerangkan, Gajah Asia masih terdaftar sebagai Terancam Punah. Kepunahannya dilihat dari penurunan jumlah populasi. Diperkirakan setidaknya 50% selama tiga generasi terakhir, yakni berdasarkan pengurangan wilayah hunian dan kualitas habitatnya.

Sementara Gajah Sumatera Elephas maximus ssp. sumatranus terakhir dinilai  IUCN pada tahun 2011, dinyatakan sebagai Sangat Terancam Punah berdasarkan kriteria A2c.

Anggota IUCN Asian Elephant Specialist Group, dari Indonesia, Dr Sunarto ketika ditanyakan suarariau.co pada Jumat (18/8/2023), membenarkan bahwa kini Gajah Sumatera sudah masuk ke dalam  kriteria kepunahan kritis. Kriteria itu telah dipublikasikan oleh beberapa praktisi dan ahli konservasi Gajah Asia, dengan menggunakan kriteria daftar merah (Red List) IUCN tersebut. Hal itu merupakan kajian di tingkat subspecies pertama yang dilakukan untuk Gajah Asia (Elephas maximus).

Hasilnya, ungkap Sunarto dari Fellow Center For Transdiciplinary And Sustainablity Sciences (CTSS) ini menjelaskan, Gajah Sumatera dinyatakan sebagai subspecies yang masuk ke Kategori Kritis (Critically Endangered) tersebut. Berdasarkan penelitian tahun 1980-an, populasi gajah di Riau diperkirakan masih lebih dari 1.300 invidu atau sekitar sepertiga dari total populasi Gajah Sumatera ketika itu. Akibat konversi habitat, penangkapan dari alam maupun konflik dan penggunaan racun, populasinya kemudian menurun tajam hingga lebih dari 80%. Kepunahannnya menjadi lebih tragis lagi menjelang tahun 2010. Tinggal tersisa sekitar 200 individu

IUCN juga mencatat bahwa sembilan kantong telah hilang sejak pertengahan 1980-an di Lampung. Kemudian survei tahun 2009 terhadap sembilan blok hutan di Riau juga hilang. Sebagai contoh kawanan gajah di Riau pada tahun 2007, bahwa enam kawanan telah punah. Pola ini berlanjut dan terlihat dengan jelas. Hal ini juga dikatakan oleh Azmardi, bahwa kantong-kantong gajah yang hilang baik di Sumatera maupun di Riau sudah terjadi sejak tahun 1985,”ujarnya.

IUCN lembaga konservasi internasional yang berpusat di Gland, Swiss ini, mengkajinya dengan menggunakan istilah “potensi habitat gajah”. Istilah tersebut digunakan dalam pembahasan laju hilangnya habitat gajah sejak 1985. Sebab, paska tahun tersebut, beberapa kawasan hutan yang telah hilang tidak dihuni oleh gajah lagi.

Wilayah Sebaran dan Nasib Gajah di Riau

Sebelum diambil alih untuk kepentingan manusia, hampir seluruh wilayah Riau sejatinya adalah habitat gajah. Meski demikian, ujar Sunarto yang merupakan satu dari tiga tim ahli dari Indonesia yang tergabung di IUCN ini. menjelaskan lagi, populasi gajah cenderung terkonsentrasi di wilayah hutan dataran rendah tanah mineral. Wilayah gambut yang terkonsentrasi di bagian timur atau dekat pesisir Riau, sebenarnya juga merupakan habitat gajah. Meski dengan populasi yang terbatas. Demikian juga halnya dengan wilayah perbukitan di bagian selatan (sekitar Bukit Tigapuluh, yang berbatasan dengan Jambi) dan barat (yang berbatasan dengan Sumatera Barat).  

Namun, sejak perubahan bentang alam secara drastis di era 90-an, khususnya konversi hutan menjadi perkebunan dan hutan tanaman Industri, gajah yang tersisa semakin terdesak. Intensitas konflik pun cenderung meningkat. Gajah yang tersisa harus mampu untuk menghindari pengusiran dari berbagai sudut. Beberapa kelompok dan individu masih berupaya bertahan di bercak-bercak hutan yang tersisa. Tidak sedikit gajah yang mati diracun, atau ditangkap dan kemudian kini menghuni Pusat Latihan Gajah. 

Kerap Kali Konflik

Habitat yang tersisa dengan luasan lahan yang tersisa yang relatif kecil, mengakibatkan areal jelajah dan kondisi pakan tidak mendukung.Terutama untuk mamalia besar seperti Gajah Sumatera, yang sangat rentan terhadap ketersediaan pakan dan gangguan habitat. Akibatnya, kerap kali terjadi interaksi negatif antara manusia dan gajah.

Beberapa penelusuran suarariau.co terkait konflik gajah dan manusia yang dipublikasi tahun 2023, tercatat serombongan gajah Sumatera masuk perkebunan warga dan merusak ratusan tanaman terjadi di Jalan Tengku Maharani, Kelurahan Maharani, Rumbai Barat, Rabu (25/1/2023) dini hari (riau.antaranews.com, 25 Januarti 2023). Pada Juli 2023, gajah kembali masuk ke Kelurahan Maharani dan Kelurahan Rantau Panjang Pekanbaru menyeruduk 2 buah rumah warga (liputan6.com,15 Juli 2023).

Kemudian amukan gajah menyasar kebun dan rumah warga Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kampar, Selasa (1/2) malam. diperkirakan 200 batang pohon sawit dirusak kawanan gajah, (jawapos.com, 1 Februari 2023).

Konflik lainnya juga terjadi di tahun ini di beberapa kawasan Riau lainnya, seperti di Desa Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan.

Sedangkan untuk Sumatera, penyerangan yang mematikan dari gajah kepada manusia terjadi di Aceh. Petani wanita bernama Fitriani (45) meninggal dunia diinjak oleh kawanan gajah liar di kebun miliknya di Desa Lhok Keutapang, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (detik.com, 13 Februari 2023).

Menempa Perdamaian Dengan Edukasi  di Perkampungan

Kerap kali terjadinya konflik negatif antara gajah dan manusia, papar Asmardi, diperlukan upaya edukasi dan pendampingan bagi masyarakat sekitar perbatasan ‘kantong-kantong’gajah. Untuk itu, upaya konservasi harus dilakukan di tingkat akar rumput atau perkampungan. Fokusnya, edukasi untuk membantu masyarakat hidup berdampingan dengan gajah.

Kebutuhan dalam upaya penyelamatan gajah tidak dilakukan oleh pemerintah sendiri. Sebab, upaya konservasi ini juga butuh lintas wilayah, beberapa sektor dan juga masyarakat serta perusahaan. Dana dan upaya konservasi ini sangat besar. "Untuk itu butuh andil semua pihak,” ujarnya.

Gelontorkan Dana Rp 25 Miliar, Beli Alat Tracking GPS ‘Kerah Satelit

Dukungan upaya konservasi juga telah menjadi kesadaran pihak perusahaan yang berinvestasi untuk lebih ramah lingkungan. Menurut Analyst Social Performance PT PHR Priawansyah pada hari yang sama mengatakan, investasi tidak cukup hanya melakukan eksplorasi dan eksploitasi alam yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik ataupun kepada masyarakat secara ekonomi. Investasi haruslah diikuti penjagaan lingkungan alam sekitarnya. Untuk itu, perusahaan Pertamina Rokan Hulu, komit dalam upaya penyelamatan dan kelestarian lingkungan di wilayah operasionalnya. Sementara itu, untuk upaya penyelamatan gajah di wilayah Blok Rokan, diwujudkan PHR dengan menggelontorkan dana sebesar Rp 25 miliar rupiah.

Analyst Social Performance PT PHR Priawansyah.(FOTO/SRc/Imelda Vinolia).

Kontraknya, disepakati untuk jangka 10 tahun lamanya atau Rp.2,5 miliar rupiah per tahunnya. Dana tersebut diperuntukan dalam upaya penyelamatan gajah di Blok Rokan yang diinisiasi dan ditempatkan di PLG Minas. 

Apa saja yang telah dilakukan pihak PT PHR tersebut? Menurut Priawansyah yang akrab dipanggil dengan Prea ini menjelaskan, komitmen awal upaya penyelamatan gajah dengan menandatangani MoU untuk 10 tahun kontrak. Dukungan dana yang diberikan diperuntukan bagi pembiayaan infrastruktur dan pakan gajah.

PHR bersama BKSDA dan mitra lainnya seperti Satwa Rimba Foundation (SRF),Universitas Muhammadyah Riau (Umri), mendukung program lanjutan untuk konservasi gajah, yang dilakukan oleh ex-operator Blok Rokan sebelumnya (PT Chevron). Sejak Blok Rokan dikelola PHR, kini telah berjalan sejak 2021, 2022 dan 2023.

Sementara, gajah yang ada di PLG sudah dijinakkan. Ada 16 ekor. Berbeda dengan gajah liar yang ada di kawasan  PLG Minas. Jumlahnya sekitar 60 ekor. Lokasi lainnya, dimulai dari Duri, Siak dan Tesso Nilo hingga Mahato.

Karena yang paling menjadi intens dari program ini adalah soal konflik manusia dan gajah, maka perlu menempa perdamaian dengan strategi, yakni fokus pada edukasi.

Selanjutnya, konservasi tidak hanya sekedar memahami upaya penyelamatan dengan menunggu waktu mendatang. Tetapi upaya penyelamatan hal yang tidak bisa ditunda lagi. Butuh kecepatan penanganan yang kredibel. Untuk itu perusahaan migas terbesar di Indonesia ini, mendukung pembelian GPS Collar atau kerah satelit untuk mitigasi konflik dan memantau pergerakan gajah di WK Rokan.“Karena korban utamanya gajah, maka PHR memberikan program penanganan interaksi negatif gajah dengan manusia.”Kita damaikan  mereka. Mitigasi mencapai damai ini disupport dengan teknologi GPS Collar System,” ujarnya.

Kecepatan untuk penanganan konflik dengan  inovasi GPS Collar System ini, sangat cepat bisa mengetahui posisi dan pergerakkan gajah. Alat ini dibuat seorang insinyur perangkat lunak dari Nepal, yang dirancang dengan sistem peringatan berbasis aplikasi. Tujuannya, untuk mengurangi pertemuan antara gajah dan manusia.

Dengan memanfaatkan teknologi ini, dapat lebih memahami perilaku hewan tersebut dan interaksinya dengan manusia. Informasi yang disampaikan GPS Collar secara real time memungkinkan penanganan dini yang terarah di titik konflik gajah-manusia.

Sedangkan pemasangan GPS dilakukan di tiap kepala suku kelompok. “Gajah itu hidup berkelompok dan tiap kelompok ada kepala sukunya. GPS Collar ditaruh di leher kepala suku gajah.“Biasanya kepala sukunya adalah betina. Sebab, yang jantan menyendiri,”paparnya lagi.

Adapun GPS Collar yang sudah dipasang sebanyak 5 buah. Harga dari satu buah GPS Collar mencapai Rp.60-70 juta rupiah (dibeli dengan nilai dollar,red). GPS yang terbaik dapat dibeli dari Afrika Selatan. Oleh karena untuk keperluan konservasi, maka pengiriman barang tersebut tidak dikenakan pajak.”Barang tersebut nilainya tidak termasuk pajak. Sebab untuk konservasi tidak kena pajak. Beda jika untuk keperluan pribadi lainnya,” ungkap Prea pria dari Aceh ini.“Yang paling mahal itu adalah memasangkan GPS-nya. Karena butuh waktu dan logistik yang besar, serta jumlah tim yang tidak sedikit,”tambahnya.

Zero Konflik

Meski perjalanan program pemasangan GPS ini telah menelan dana yang besar serta tim dan logistik yang juga besar, namun hal itu telah berdampak lebih aman bagi keberlangsungan hidup antara manusia dan gajah. Selain efektif karena memangkas waktu, kerugian warga, juga yang sangat ampuh memberikan mitigasi rasa aman kepada warga atas keselamatan jiwa mereka.

Sejak pemasangan GPS Collar, ujar Prea. cukup efektif mengurangi interaksi negatif satwa gajah dengan masyarakat sekitar. Bisa memantau gajah-gajah tersebut.”Alhamdullillah, khusus wilayah PLG Minas, hasilnya, sejak tahun 2019 sampai  hari ini, sudah zero konflik,”ujarnya.“Untuk gajah, tidak pernah lagi didengar gajah mati karena dibunuh. “Beberapa waktu lalu ada gajah mati, karena kena sengatan listrik. Hal itu di luar kontrol kita. Lebih dan kurang seperti itulah program kita,”imbuhnya.

Pembinaan Kampung dan Program Agro Forestry

Sementara, kini monitoring gajah dengan GPS Collar sudah menjangkau 32 desa. Laporan harian real time berkala menyatakan konflik yang menimbulkan kerugian dapat diantisipasi sejak dini. “Sedangkan untuk koordinasi sampai ke grass root, maka di kampung-kampung sudah ada  PIC-nya,”jelas Prea lagi.

Hal ini dilakukan dengan pembinaan warga dengan program agro forestry ke masyarakat. Warga dianjurkan menanam tanaman yang tidak disukai oleh gajah, seperti jeruk, jengkol, alpokat, kemiri, cabe, serai dan lainnya. Agar konflik bisa terminimalisir.

Strategi Mitigasi Dini

Mitra pelaksana PT PHR dan BBKSDA, Ketua Rimba Satwa Foundation (RSF)  Zul Husni Syukri mengatakan, salah satu yang dilakukan dalam menata interaksi negatif adalah memahami dimana titik keberadaan dan pergerakan gajah dengan memanfaatkan teknologi GPS Collar System tersebut. Sederhananya, jika gajah melewati kampung-kampung, pihaknya bisa memberikan informasi kepada warga yang dekat. Hal ini untuk mengetahui strategi peringatan dini. Sebab, dengan informasi GPS Collar yang cepat dari pihaknya, warga sudah tahu duluan bahwa gajah sudah mendekati kampung.Untuk itu tindakan blokade dilakukan dengan membuat api unggun atau bakar-bakar, sehingga gajah tidak mendekat ke pemukiman.

Rimba Satwa Foundation (RSF)  Zul Husni Syukri (kiri).( FOTO/SRc/Imelda Vinolia).

Nilai tambah penggunaan teknologi GPS Collar ini tidak saja untuk mitigasi konflik. Namun juga bisa digunakan untuk penelitian, mengetahui detail home range gajah. Contohnya di Giam Siak Kecil dan Balai Raja, Duri, ada 34 desa  yang jadi perlintasan gajah. Untuk Riau, jika 20 tahun yang lalau ada 13 kantong populasi, sekarang hanya tinggal 7 kantong. Delapannya punah, karena aktivitas-aktivitas masyarakat. Contoh lainnya, dulunya lokasi Danau Buatan Rumbai merupakan kantong gajah. Ketika pembuatan Danau Buatan, gajah enggan bermukim lagi di lokasi tersebut.

Nilai tambah lainnya, yakni indentifikasi jenis kelamin, dan kehamilan gajah terpantau.“Oh ya, tahun lalu kita pasang GPS untuk Gajah bernama Na, di Giam Siak kecil. Posisinya lagi hamil. Satu bulan kita pasang GPS, kita tahu dia sudah melahirkan. Sekarang di Giam Siak kecil ada 8 ekor yang sudah melahirkan. Sementara yang sedang hamil ada dua sampai tiga ekor. “Dengan kehamilan gajah 22 bulan,” jelasnya.

“Posisi gajah ketika itu sedang melahirkan di Balai Raja, Duri, hingga sekarang anaknya masih terawat. Induknya kita pasang GPS Collar dan bisa mendeteksi mewakilkan satu kelompok,”jelasnya lagi.

Namun demikian ujar Zul Husni, pada dasarnya GPS itu hanya alat sebagai pelengkap pihaknya dalam menjalankan tugas konservasi. “Sebab tugas utama adalah patroli,”ujarnya.

Kadang Kala Tak Terdeteksinya Gajah Jantan

Sifat gajah betina dan jantan yang berbeda, terkadang juga jadi rintangan.Hal ini jadi salah satu kendala yang dihadapi petugas. Sebab sulit mendeteksi gajah jantan yang sifatnya foliter atau menyendiri. Jika jantan tiba-tiba masuk kampung dan masyarakat akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Melihat kejadian sebelumnya yang baru terjadi di lokasi Palas, Rumbai, Pekanbaru, gajah masuk ke lokasi warga. Oleh karena satelit terkadang tidak berfungsi atau error menyebabkan kejadian seperti di Palas tidak terpantau. ”Bablaslah jadinya,”ungkapnya. “Sebab, gajah di Riau kebanyakan melalui kebun-kebun, pemukiman, hutan-hutan kecil yang terkotak-kotak dan masuk perkebunan warga,”katanya.

Kendala lainnya yakni, jumlah makanan gajah yang besar. Biaya satu ekor gajah makan 80 ribu rupiah per hari. Satu ekor gajah harus makan minimal  10 persen dari berat badan. Hal ini jadi tantangan dalam memelihara dan merawat gajah tersebut. Gajah harus bisa dibawa berjalan ke lapangan hutan liar berumput. Ditambat dengan rantai yang panjangnya 30-50 meter. Gajah-gajah harus terjaga agar aman digembalakan sang mahout, dan juga aman untuk gajah itu sendiri.

Kesempatan dan Waktunya Tidak Banyak Lagi

 Dr Sunarto (FOTO/ist).

Mengomentari peran perusahaan sekitar membantu konservasi menurut ahli ekologi Dr Sunarto yang telah menyelesaikan gelar sarja di tiga benua (Amerika,Eropa dan Asia) ini mengatakan, ia mengapresiasi semua pihak yang berkontribusi untuk melestarikan dan memulihkan populasi gajah. Semua pihak memiliki tanggung jawab moral dan ekologis. Terlebih perusahaan maupun pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak, pernah menyebabkan keterancaman gajah dan satwa liar di sana.

Namun ia mengatakan besarnya dana yang digelontorkan bukan menjadi patokan. Meski nilai uang memang penting, tapi itu bukan segalanya. Kontribusi terpenting seringkali tidak hanya dalam bentuk uang. Berbagai dukungan dapat dan perlu diberikan untuk upaya pemulihan gajah. Strateginya sudah disusun, tinggal dijalankan. Semua pihak perlu mengambil peran kalau tidak ingin gajah dari Riau dan Sumatera punah. Kesempatan dan waktunya tidak banyak lagi.”Tidak bisa ditunda,” tekannya.

Sebab menurut Sunarto lagi, meski gajah memiliki rentang hidup (longevity) yang cukup panjang. Seperti manusia, mereka bisa hidup hingga usia 60-70 tahun atau mungkin lebih panjang. Berbeda dengan satwa lain, misalnya harimau, yang masa hidupnya lebih pendek sekitar 10 tahun. Namun dampak ancaman dan tekanan populasi terhadap gajah tidak langsung dapat diamati seketika. Demikian juga halnya dengan dampak positifnya, yang tidak serta-merta dapat dilihat seketika secara langsung. Namun, jika dibiarkan terus dan terlambat membalik keadaan, pada suatu waktu yang mungkin tidak terlalu lama lagi, gajah dapat tiba-tiba punah. Ini yang jarang dipahami banyak pihak. Perjuangan penyelamatan gajah adalah perjuangan jangka panjang, antar generasi manusia. “Kita perlu membangun kepedulian bukan hanya pada generasi sekarang, tapi juga generasi berikutnya. Agar habitat gajah dan satwa liar lainnya di sekitar kita dapat dipulihkan kembali. Saat ini dan generasi kita memegang kunci keberhasilan atau kegagalan upaya menyelamatkan satwa darat dengan otak terbesar yang hidup saat ini,”ulasnya.

Sedangkan upaya penangkaran ujar Sunarto, perlu dilakukan dengan menjalankan prinsip-prinsip konservasi. Beberapa yang perlu diperhatikan antara lain, pertama, sumber indukan dan keturunannya harus diketahui dan dicatat secara teliti. Dilakukan agar jangan sampai terjadi inbreeding atau kawin sedarah. Kedua, gajah perlu diperlakukan sebagai satwa liar, dengan sifat keliaran yang terus diperhatikan dan dirawat. Hal ini untuk dapat mendukung upaya pengayaan di alam jika sewaktu-waktu diperlukan dan habitatnya yang aman telah tersedia.

Perlu diingat juga, ujar Sunarto, bahwa gajah adalah satwa sosial yang hidup dalamberbagai tingkatan kelompok mulai dari keluarga, herd (kelompok), klan (suku) dan sebagainya. “Mereka memiliki hubungan sosial yang kompleks dan perlu diakomodir dan dirawat,”ulasnya.

Selain itu, Sunarto yang juga Co-Founder pada Forum HarimauKita ini, mengapresiasi jika di Riau serius digalakkan sebagai sebagai pusat  penangkaran gajah. Hal ini ujar Sunarto, tak lain karena  alam Riau sejatinya merupakan rumah bagi gajah. Berbagai upaya perlu dilakukan. Prioritas tentu menjaga kelestarian di habitat aslinya.

Bersamaan dengan itu, gajah-gajah yang berada di ex-situ atau penangkaran perlu dipastikan bahwa gajah dipelihara dengan menjalankan prinsip-prinsip konservasi dan kesejahteraan satwa. Gajah tersebut harus dapat berkontribusi untuk mendukung kelestarian gajah di habitatnya “Termasuk di sini adalah kontribusinya dalam memberikan edukasi bagi publik tentang keunikan, peran penting, keterancaman serta perlunya pelestarian satwa berbelalai itu.,”imbuhnya.***



Asyiknya gajah mandi di Sungai Takuwana PLG Minas BBKSDA Riau.(Video/SRc/Imelda Vinolia).

Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco