Tradisi Masak nasi saat gawai Talang Mamak, 16-19 Maret 2023 di Desa Talang Parit (FOTO/SRc/imelda)
SuaraRiau.co -Liku-liku menjalani untuk mendapatkan pengakuan bagi bathin Irasan merupakan jalan panjang yang terjal membuat dirinya letih sebagai layaknya manusia. Apa lagi pengajuan dan pertemuan sudah dilakukan berkali-kali. Namun ia dan tim adatnya, kerap mendapat perlakuan diabaikan.
Bathin Talang Parit, Irasan. (FOTO/SRc/imelda)
“Hutan yang sudah dicaplok dan dihabiskan oleh perusahaan ini. Kami bukan mau mengusir perusahaan ini. Tolong bagian kami mana. Itu yang kami tuntut. Akuilah beliau (perusahaan, red) berada di bawah ulayat kami atau Talang yang lain. Jangan dianggap kami yang menumpang di tanah kami sendiri. Maka itu saya bersikeras minta diadakan perda atau perbub bupati. Itu kami mohon dibantu kepada orang cerdik pandai. Karena kami sudah sangat lama terlunta-lunta masyarakat adat Talang Mamak ini,” ujarnya
20 Tahun Diabaikan dan Bahkan Pernah Mati Suri
Perjuangan mendapatkan dan menuut hak dan pengakuan wilayah hukum masyarakat adat sudah banyak menghabiskan materi mereka yang sudah miskin dan waktu yang tidak sebentar. Kini sudah 20 tahun. Bahkan pernah keadaan perjuangan mendapatkan pengakuan tersebut pernah mengalami mati suri. Akibat ketika itu rumah bathin kebakaran dan mengami beberapa kali duka cita lainnya.
Meski demikian, ia tidak menampik kalau keadilan pernah ditawarkan kepadanya. Bentuk keadilan yang ditawarkan kepadanya tahun 2001, yakni mendapatkan sekian puluh pokok sawit semasa Bupati Thamsir Rachman. “Walaupun saya miskin. Saya tidak mau dibeli dengan duit. Sebab itu melanggar sumpah dari orang tua saya. Jika dijadikan bathin itu jangan menjilat kepada ukuran dan jangan memalingkan padan,” tegasnya.
“Kronologisnya konflik sudah sejak 1997, setahun saya menjadi kepala desa di tahun 1996. Dan sampai tahun 2005 tetap berproses, hingga sampailah saat ini,”ungkapnya.
“Sejak 1997 hingga sampai ke Jakarta belum pernah ada jumpa yang adil. Bukan minta kekayaan. Bukan mau mengusir penduduk, bukan mengusir perusahaan. Manusia beradat itu sama dengan manusia yang beragama,” ujar Irasan.
Kerap diabaikan di daerah sendiri hingga ke Jakarta, kini pihaknya telah sampai mengadu ke Rountable Suitainable Palm Oil (RSPO) di Kuala Lumpur, Malaysia didampingi AsM Law Office, kantor hukum yang mendorong kebijakan berkelanjutan, menyejahterakan dan berkeadilan.
“Saya sebenarnya merasa malu hal ini sampai ke luar negeri. Namun yang namanya keadilan belum pernah saya jumpa.Baru melalui inilah kami diberikan respon,”ungkapnya.
Sejak itu, jalan menuju proses pengakuan mulai tampak di tahun 2019 tersebut.”Kini sudah mulai tampak alur yang harus diikuti,’ ungkapnya lagi. Harapannya melalui jalan ini bisa memberikan keadilan.
Selama ini, Irasan bersama LKMD dan kepala desa tidak pernah lelah dan tidak ingin brutal dalam menyelesaikan konflik. Tetapi sebagai manusia ia pun memiliki keterbatasan untuk bisa bertahan.
Perjalanan ingin mendapat pengakuan sudah menjalani empat jabatan bupati.”Hingga bupati yang sekarang juga belum ada kejelasan,”ujarnya.
Senior Lawyer AsM Law Office Perwakilan Lembaga Pendamping Talang Mamak di Luak Parit Andiko Sutan Mancayo dikonfirmasi melalui telepon mengatakan, konflik Talang Parit berlangsung cukup lama. Pendampingan yang pernah dilakukan belum menunjukkan kemajuan.
Andiko Sutan Mancayo. (FOTO/SRc/Imelda)
Ia membenarkan bahwa akhirnya masyarakat Talang Parit mengajukan pengaduan ke RSPO melalui pendampingan Asm Law Office. Pengajuan tersebut telah diajukan pada 19 Maret 2021 dan diterima Juni 2021. Ada tiga hal isi pengajuan antara lain, pertama. termohon beroperasi di areal milik masyarakat Luak Parit tanpa mendapat persetujuan. Kedua, termohon tidak mengembangkan kebun plasama untuk masyarakat dan ketiga termohon tidak memiliki mekanisme pengaduan internal yang dapat diakses oleh pemangku kepentingan.
Perkembangan Terbaru
Perkembangan terbaru penanganan kasus ini, tim investigasi independen RSPO sudah turun untuk mencari fakta dari semua pihak, sekitar 22-25 Maret lalu.
Ada dua hal skema prosedur yang diberikan RSPO ujar Andiko yakni, pertama mediasi multilateral dan kedua skema investigasi independen. Perusahaan tidak setuju dengan skema pertama. Perusahaan memilih skema kedua yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Kemudian laporan itu diserahkan ke kelompok panel RSPO. Nantinya kelompok panel RSPO baru memutuskan kasus ini seperti apa. “Jadi sekarang ini perkembangan masih proses pelaporan investigasi independen,”jelasnya.
Tim investigasi independen ini akan membuat laporan dan mengajukan ke panel pengaduan RSPO untuk mendapatkan putusan. Yakni mencakup penyediaan plasma dan wilayah keramat yang tidak dapat diakses dan bahkan telah rusak. Juga mengenai pemenuhan kewajiban hukum atau keuntungan perusahaan yang dapat diberikan pada masyarakat.
Rencananya laporan investigasi tersebut ujar Andiko, harus sudah selesai April ini. Sebelum diserahkan ke kelompok panel, dikirimkan dulu kepada para pihak yang berkonflik jika ada masukan sebelum dikirimkan ke RSPO.
Setelah itu, jika tidak ada tambahan dan masukan, lalu laporan akan disidangkan kelompok panel dan akan diputuskan. “Sebelum diputuskan ada juga proses diskusi di dalamnya. Kemungkinan akan memakan waktu 3-4 bulan setelah dilaporkan tim investigasi baru diputuskan. Kita tunggu setelah Mei,”ujarnya.
Humas PT Inecda Joko Dwiyono, tidak menyanggah adanya laporan masyarakat Talang Parit ke RSPO. Ia hanya tidak mau memberikan komentar ketika ditanyai seputar pengaduan tersebut. Jawabannya hanya mengatakan: “No Comment melalui wassapp pada Rabu 29 Maret yang lalu.
Joko tidak menampik bahwa tim investigasi independen telah mendatangi pihaknya. Melalui pesan wassapp juga ia mengatakan, bahwa pihaknya sudah dimintai keterangan oleh tim independen tersebut. “Terkait hal tersebut, Kami sudah dimintai keterangan oleh tim Independen,” jawabnya.
Sekretaris Daerah Indragiri Hulu, yang juga Ketua Panitia Penetapan Wilayah Hukum Adat 2018 Hendrizal ketika dikonfirmasi Suarariau.cobeberapa kali melalui telepon tidak diangkat. Dan ketika ditanyakan melalui wassapp hanya dijawab bahwa tulisan atau literatur tentang Talang Mamak cukup banyak. Dapat dilihat di media sosial. Meski enggan menjelaskan lebih jauh, Hendrizal memberikan jawaban juga bahwa pihaknya masih perlu mengembangkan penelitian tentang Talang Mamak.
Sementara keengganan menjawab juga terjadi ketika dikonfiirmasi ke Sekretaris Panitia Penetapan Wilayah Hukum Adat merangkap Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Indragiri Hulu, Roma Doris. Ia mengatakan bahwa ada 5 usulan wilayah adat sudah masuk. Namun ia mengatakan kewenangan mengomentari adanya aduan pihak Talang Parit ke RSPO bukanlah bidang yang ia tangani.’Bukan ranah saya,” ujarnya. Sebab tugasnya merupakan Sekretaris Panitia Penetapan Wilayah Hukum Adat yang dibentuk dengan SK yang dikeluarkan pada Tahun 2018. Tugas panitia menangani pengajuan masyarajat adat yang nantinya akan keluar Perbub dalam bentuk peta..
Namun Doris membenarkan bahwa usulan penetapan wilayah hukum adat dari kelompok masyarakat tersebut sudah diterima. Beberapa peta penetapan wilayah-wilayah hukum adat Talang Mamak sudah masuk. Namun Doris enggan menjelaskan perkembangannya lebih detail.
Merujuk Mahlumat Talang Mamak & RSPO Harus Berani Minta Inecda Hengkang
Made Ali (FOTO/int)
Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali mengatakan bahwa Jikalahari memiliki mandat untuk penyelamatan hutan, tanah dan masyarakat adat. Untuk itu terkait Suku Talang Mamak itu sedang berjuang berdasarkan keputusan MK No.35. Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Menurut Made masyarakat Talang Mamak termasuk yang kuat memperjuangkan wilayahnya, meski hingga kini belum mendapatkan pengakuan.
Sementara menurut penilaiannya telah sampainya pengaduan mereka ke Rountable and Suitainable Palm Oil (RSPO), meski sudah mendapat tanggapan, namun ia pesimis hasilnya bisa direspon sebagaimana layaknya.
Harus ada penguatan solusi dari RSPO. Misalnya, ketika di lapangan RSPO harus berani mengatakan bahwa PT Inecda harus keluar dari wilayah masyarakat adat Talang Mamak. Namun kenyataannya RSPO belum pernah membuat keputusan berani yang demikian. RSPO paling tidak hanya mengeluarkan teguran-teguran. “RSPO tidak akan berani membuat rekomendasi memenuhi tuntutan masyarakat Talang Mamak seperti PT Inecda harus keluar dari wilayah tersebut,” katanya.
Sebelumnya, jelas Made, Talang Mamak sudah membuat resolusi maklumat Talang Mamak pada tahun 2014. Salah satunya isi makhlumatnya, wilayah yang sudah ditanami sawit harus dinegsosiasi ulang dengan pendekatan adat Talang Mamak. Bukan pendekatan RSPO, bukan juga pendekatan ala negara. “Kalau merujuk harus negososiasi ulang dengan mereka.Karena itu hasil kongres Talang Mamak itu sendiri,” sarannya.
Enggannya sikap elit politik selama ini mengeluarkan pengakuan bagi masyarakat hukum adat, menurut temuan Jikalahari, karena tidak adanya keuntungan materi bagi calon bupati atau bupati berikutnya.
Seperti kasus Bos Grup Duta Palma Surya Darmadi, empat perusahaan HTI-nya masuk wilayah Talang Mamak. Sudah jelas masuk kawasan wilayah hutan Talang Mamak. Tetap saja semasa Bupati Thamsir diberikan ijin.”Jadi temuan Jikalahari dari 12 kabupaten kota kecuali Pekanbaru, rata-rata perusahaan punya konsesi HTI ataupun lahan sawit, ketika ada masyarakat adat, DPRD maupun pemerintah kabupaten enggan menerbitkan Perda. “Karena tidak ada keuntungan materi ,”jelasnya.
Sebaiknya ujar Made, perusahaan ataupun RSPO dalam memberikan solusi harus berujung pada maklumat Talang Mamak, yakni, negosiasi ulang. Selanjutnya, perda masyarakat adat harus wajib diwujudkan oleh Pemkab..
Meski demikian Made yakin bahwa perjuangan untuk bisa mendapatkan pengakuan akan diraih. Sebab kini hanya menunggu RUU masyarakat hukum adat di Dewan RI yang sedang masih digodok.Sudah lima tahun. Masih ada beberapa partai yang menolak,” ujarnya.
Sedangkan keberadaan suku-suku seperti Talang Mamak itu, ujar Made berpotensi menjaga hutan bagi keberlangsungan hidup manusia.
Sudah Saatnya Ditutup
Johny S Mundung. (FOTO/int)
Tenaga Ahli Gubernur Riau Johny S Mundung sangat menyayangkan masih beroperasinya sebanyak kurang lebih 500 perusahaan HTI dan sawit sudah dinyatakan sebagai pelanggar hukum berat oleh temuan Pansus Dewan Riau di tahun 2015.
Sementara perijinan lahan PT Inecda berlebih dari yang sebenarnya. Diharapkan lahan yang berlebih tersebut dikembalikan kepangkuan masyarakat yang berhak atas lahan tersebut.
Era pemerintah Jokowi yang memberikan peluang bagi masyarakat adat untuk mendapatkan status pengakuan, sebaiknya dimanfaatkan berbagai pihak untuk mengajukan pengakuan masyarakat hukum adat baik dari gubernur, bupati ataupun menteri.
Sedangkan proses pengajuan pengakuan yang diberikan Suku Talang Mamak sekarang ini masih membutuhkan proses yang panjang di meja gubernur. Sebelumnya sebagai tenaga ahli gubernur ia sudah menyarankan agar pengajuan tersebut dipercepat. Dan hal itu sudah dilakukan Talang Mamak mengajukan sebanyak 350 hektar, termasuk untuk Talang Parit. Pengajuan pengakuan tersebut ketika itu hampir bersamaan dengan Bathin Solapan Suku Sakai di Duri. “Namun mereka lebih dulu, meski pengakuannya tidak sebanyak pengajuan lahan Talang Mamak, yakni, hanya 204 hektar. Untuk Talang Mamak ada 5 lima kecamatan dengan sebanyak 350 hektar ingin mendapat pengakuan sebagai wilayah masyarakat hukum adat,”jelasnya.
Luas lahan pengajuan Talang Mamak sebesar tersebut telah melibatkan banyak perusahaan seperti PTPN V, PT Inecda, Duta Palma dan lainnya.Namun persoalan ini sudah seharusnya digesa juga. “Saya sudah berkali-kali sama pak gubri minta Kepala Dinas KLHK dan tim turun ke lapangan. Mana saja yang bisa diakui. Jangan hanya di atas meja saja. Mereka minta tolong disahkan sebagai masyarakat hukum adat. Ada sekitar 11 ribu orang. Tetapi hingga kini timnya belum dibentuk gubernur. Masih dirancang. “Talang Mamak hanya tinggal butuh SK Gubernur Riau,”jelasnya lagi.
Masak bersama untuk gawai. (FOTO/SRc/imelda).
Sebenarnya ujar Johny, untuk menyelesaikan konflik harus ada surat pengakuan masyarakat hukum adat. Hal ini bisa berupa SK Bupati atau Perbub. “Dimana-mana hanya Perbub saja bisa,” ujarnya. Sudah selayaknya PT Inecda hengkang dari wilayah Talang Mamak.Sudah saatnya hal itu diselesaikan karena sudah menahun.,” tambahnya.
Berlarut-larutnya persoalan Talang Mamak karena kebijakan pemerintah selalu berpihak pada perusahaan. Kini sudah saatnya pemerintah berpihak pada masyarakat. Untuk itu, ada peraturannya, yakni tata caranya diusulkan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Masyarakat adat Talang Mamak sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sedangkan jaman Hindia Belanda mereka juga mendapat pengakuan.”Lalu kenapa sekarang tidak,” ujar Mundung.
Mundung juga menambahkan bahwa suku tersebut tidak saja diabaikan, bahkan mereka dizolimi di kampung mereka sendiri. Oleh karena sifat masyarakatnya yang introvert, menyebabkan terkesan masyarakat ini tidak melakukan perlawanan.
Untuk itu, Johny mengusulkan perusahaan yang sudah bermasalah dan melanggar haruslah ditutup. Karena semuanya sudah tidak dihargai oleh perusahaan yang melanggar. “Secara rasional dan realistis perusahaan yang sudah melakukan pelanggaran harus ditutup dan lahan milik Talang Mamak segera dikembalikan kepangkuan adat,” katanya.
Ia berharap jika bupati mau mengeluarkan peraturan bupati khusus untuk masyarakat hukum adat Talang Mamak, akan mendorong pengembalian wilayah mereka lebih cepat. Terutama karena bupatinya kini keturunan Melayu-Talang Mamak.”Apa lagi Bupatinya kini masih keturunan Talang Mamak dan Melayu,”ujarnya.
Benteng Terakhir
Teguh Surya. (FOTO/ist)
Mantan Direktur Yayasan Madani Teguh Surya yang kini menjadi konsultan, mengatakan bahwa perusahaan PT Inecda dengan Talang Mamak sudah lama.
Dijelaskannya secara umum persoalan seperti ini adalah persoalan serius di Riau. Sebab, menurut data sawit, tutupan lahan kebun sawit di Riau terluas di Indonesia, Sedangkan Kalimantan Barat terbanyak ijinnya.
Menurut data statistik Disbun Riau,https://disbun.riau.go.id/artikel/buku-statistik-Tahun 2019 perkebunan Inecda memiliki pabrik kelapa sawit dengan kapasitas produksi tertinggi diantara 21 perusahaan PKS di Indragiri Hulu.
Diantara tutupan lahan sawit tersebut, temuan Pansus Dewan Riau sebanyak 1,8 juta hektar adalah illegal. Hal yang penting disini adalah bahwa industri sawit menjadi masalah serius di Riau. Terutama dikaitkan dengan isu masyarakat adat. Sementara Talang Mamak adalah benteng terakhir salah satu wilayah model pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang bisa dilakukan oleh masyarakat adat. Oleh karena ekspansi kebun kebun sawit secara terus menerus terjadi karena tingginya permintaan di pasar. Mau tak mau Talang Mamak yang terdampak untuk hari ini.
Sedangkan menurut pendapat Teguh, langkah yang diambil oleh Talang Mamak untuk melapor ke RSPO adalah upaya positif, agar proses penyelesaian itu mendapatkan tempat yang benar. Sebab, selama ini protes dilakukan begitu saja. Selalu dengan demo dan berujung kriminalisasi. Tak ada arah penyelesaian yang jelas.
Selanjutnya,RSPO akan memberikan skema jalan keluarRemediation and Compensation Procedure (RaCP) atau Prosedur Remediasi dan Kompensasi (RaCP). Sebab RSPO merupakan lembaga profesional di bidangnya. Isu sawit yang selalu berhubungan dengan isu politis, ekonomis, climate change dan lainnya. Dan tak jarang pejabat-pejabat di Riau, mulai dari pemerintah, dewan dan seterusnya memiliki lahan sawit. Dikhawatirkan ketika isu Talang Mamak menjadi besar, maka akan menganggu investasi di Riau. “Saya pikir dengan adanya pengaduan masyarakat Talang Mamak tersebut, tentu RSPO bijaksana meresponnya. Hal ini memberikan gambaran wajah bagi investasi di Riau.
Agak berbeda sedikit dengan Made Ali, bahwa Teguh yakin solusi yang diberikan RSPO selain memberikan solusi ganti rugi, bisa sampai kepada bisa hengkangnya sebuah perusahaan, jika terbukti telah mencaplok lahan masyarakat secara akurat. Jadi untuk bisa mencapai target seperti itu, maka masyarakat yang mengajukan harus menyiapkan data-data kepemilikan yang mendukung.
“Selama ini, masyarakat yang memberlakukan protes ke RSPO hanya membawa bukti-bukti kepemilikan yang lemah. Saya pikir untuk masyarakat adat Talang Mamak didampingi dengan NGO, hendaknya melengkapi saja dokumen mereka agar kuat,”ujarnya. Karena RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil / ISPO), sangat konsen dengan koflik-konflik sosial dan melindungi hak-hak masyarakat.
Sebab, ujarnya lagi, jika terbukti perusahaan sawit melanggar hak-hak sosial masyarakat, bukan saja mendapat sanksi dikeluarkan dari keanggotaan. Tetapi juga bisa tidak dapat menjual barang produksinya di pasaran dunia. "Konsumen sekarang sudah cerdas. Mereka hanya mau menerima produk yang ramah secara sosial dan lingkungan, terutama kini dikaitkan dengan iklim,"jelasnya.
Untuk itu, menurut Teguh, haram hukumnya mensawitkan masyarakat adat atau mensawitkan tanah adat, dengan tanpa penerimaan informasi bebas tanpa paksaaan. Sebab masyarakat adat memiliki pola kehidupan dan kearifan sendiri dalam menjaga lingkungannya. Itulah sebabnya masyarakat adat tersebut menjadi benteng terakhir sebagai penjaga lingkungan.
Meski demikian, lanjut Teguh lagi, jika masyarakat adat memiliki sawit dengan sadar,setelah diberikan informasi, hal itu boleh saja. Namun kasus yang dialami Talang Mamak sekarang mereka dipaksa menerima sawit dan bahkan lahan mereka terkena ekspansi investor sawit.
Sementara tugas negara adalah memastikan masyarakat Indonesia termasuk masyarakat adatnya dijamin sumber kehidupannya melalui konstitusi.***