SuaraRiau.co -Masyarakat tradisi Talang Mamak secara umum etnis yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan.Terutama untuk ritual dan meramu obat dan makanan tradisi untuk dikonsumsi secara komunal. Bagian pertama telah dipaparkan bagaimana ketergantungan kehidupan tradisi Talang Mamak tergantung dengan hutan. Seperti untuk mengobati warganya, membuat rumah adat dan peralatan memasak dan ritual dari hutan sudah terancam punah.
Kini cerita kawula muda dari Suku Talang Mamak juga mengatakan jika keberadaan hutan Talang Mamak habis, maka kehidupan tradisi merekapun akan punah. Hal ini dikatakan Dita (20) yang sangat peduli dengan tradisinya dan aktif di kemasyarakatan Talang Mamak.
Dita ditemui oleh Jurnalis Fellowship adatpedia.com di tengah dirinya yang sibuk mengurus gawai pernikahan ketika itu.
Dita (FOTO?SRc/imelda)
Dipaparkan Dita dalam acara gawai banyak barang barang hutan yang diperlukan.Seperti tapik untuk menepik pulut. Senduk kayu memasak nasi. Kemudian tangkelang sebagai alat paling penting pada acara gawai pernikahan, kematian dan pengobatan dukun sebagai tempat sirih dan kemenyan serta obat-obatan. Lalu, buyang sebuah tempat dari rotan yang berbentuk ember dengan tali terbuat dari kayu.
Masyarakat Talang Mamak yang teguh memegang adatnya. Sedangkan bahan-bahan ritual adat sudah sangat sulit karena hutan tidak ada lagi, maka jika alat-alat tersebut tidak ada, tentunya adat mereka tidak bisa jalan. “Tradisi Talang Mamak bisa punah,” ujarnya.
Bahan-bahan alat ritual tersebut masih bisa didapatkan dengan mudah ketika Dita masih anak-anak. Namun kini bahan-bahan ritual dan peralatan untuk adat membutuhkan biaya yang besar.”Sehingga sebagian peralatan ritual kami dibeli di pasar. Tentunya diperoleh dari hutan dari daerah lainnya.Untuk itu warga Talang Mamak mengeluarkan biaya yang besar.Aga juga dibeli dari tempat Suku Talang di wilayah lainnya,”ujarnya.
Dita berharap hutan yang tersisa bisa dipertahankan. Sebagai perempuan Talang Mamak ia ingin perempuan bisa melangkah maju dan dilibatkan dalam mendorong keputusan untuk mempertahankan wilayah adatnya.
Sementara pengerajin alat-alat tersebut juga hanya tinggal beberapa orang saja.Dan umumnya orang tua yang sudah berumur. Dulu gadis Talang remaja sudah bisa mengerajin.“Untuk seumuran Dita sudah tidak bisa lagi,” ungkapnya.
Maka tak heran kini, ujar Dita dampak terbesar hilangnya hutan puaka mereka sangat besar terhadap upacara adat. “Sebab 70 persen kepelruan ritual adat diperoleh dari hutan.”Kini beli kemenyan saja satu canting (satu gelas) sudah lima belas ribu,” ujarnya.
Untuk mengatasi kekurangan barang-barang ritual gawai, biasanya satu sama lainnya saling pinjam pakai.Sebab barang-barang tersebut yang bisa dipakai lama. Usai gawai selesai akan dikumpulkan.”Jadi gotong royong mengumpul dan menyimpannya. Namun untuk barang sekali pakai biasanya ada pada acara adat naik tanah seperti kayu untuk bikin bunga, birai, dan anting-anting dan naik bamboo dan rotan.
Paling Resah Akan Ketersediaan Pengobatan Tradisional
Marusi, dukun yang melakukan ritual pengobatan masyarakat adat Talang Mamak di Talang Parit. sedang menuruni tangga rumahnya yang merupakan bentuk rumah adat Suku Talang Mamak.(FOTO/SRc/imelda)
Mitos pengobatan tradisional yang menjadi turun temurun jadi tradisi yang sangat melekat dengan cara mereka bertahan hidup dari segala penyakit. Namun habisnya hutan kini menyebabkan keresahan warga yang besar terhadap ketersediaan pengobatan tradisional yang bahannya berasal dari hutan.
Selain itu, ujar Dita oleh karena warga masih hidup dengan ketergantungan pengobatan tradisi, dimana bahan-bahan dan obat-obatan perlu diambil dari hutan. Hal ini menyebabkan warga mereka paling resah atas ketersediaaan bahan-bahan obatan yang mereka perlukan yang berasal dari hutan. “Cara pengobatan tradisional kami hampir punah,” katanya.
Untuk itu harapannya hutan adat Talang Mamak jangan diganggu lagi, agar kedepannya masih bisa menanam dan hutan masih bisa tumbuh lagi. Meski butuh waktu yang lama,” imbuhnya.
Hilangnya Hutan Tempat Bermain, Lukah Jadi Kosong
Membuat lukah di sebuah parit dekat dari pemukiman warga. (FOTO/SRc/imelda)
Hutan dan sungai sebagai sumber segala kehidupan bagi masyarakat adat Talang Mamak, juga tempat bermain bagi pemuda-pemudi. Sebab banyak pohon yang membuat mereka bisa berteduh di bawahnya. Kini ujar Khairil (17), pemuda Talang Parit bahwa ketika wilayah mereka berubah jadi hamparan sawit tidak bisa menjadi tempat mereka bermain.
Selain itu sebagai anak laki-laki di desa, biasanya membuat lukah untuk menangkap ikan. Namun karena hutan sudah habis, sungai banyak yang sudah kering karena kebun sawit menyebabkan isi lukah sering ditemukan kosong.Tidak lagi seperti tak kala hutan masih rimbun, dimana isi lukah tidak pernah kosong.
Dulunya tidak ada membeli ikan. Mau makan ikan tinggal tangkap di sungai atau membuat lukah. Kini, karena sulit, maka lebih banyak menunggu hari pekan tiba atau penjual ikan bermotor masuk ke desa mereka.
Khairil sedang menuju parit membawa lukah menangkap ikan. (FOTO/SRc/imelda)
Biasanya masyarakat Talang Parit menyediakan lauk untuk makan keesokan harinya, menyiapkan lukah terbuat dari bilah-bilah bambu dianyam dengan rotan membentuk lonjong telur di sore hari. Ketika pagi tiba mereka memeriksa dan mengambil lukah yang sudah berisi ikan.
“Jika dipasang sore, di sungai atau di parit, maka keesokan pagi ikan sudah banyak terperangkap di dalamnya,” ujarnya.
Oleh karena Suku Talang Parit berada di bantaran Sungai Ekok yang bermuara ke Sungai Indragiri, masyarakatnya juga kerap menangkap ikan. Selain lukah mereka juga menggunakan jaring, tengkalak dan tangguk.
”Kini ikan-ikan tersebut sudah jauh berkurang, karena rawa-rawa tempat ikan bertelur rusak karena sawit dan penebangan hutan,”ujarnya.
Tradisi Perempuan Menghitamkan Gigi
Gigi para orangtua yang selalu diwarnai dengan hitam. (FOTO/SRc/imelda)
Gigi menjadi hitam sangat umum ditemukan di masyarakat tradisional di Indonesia. Hal itu kebanyakan disebabkan tradisi memakan sirih dan pinang. Berbeda halnya dengan Suku Talang Mamak. Meski suka memakan sirih, namun gigi para orang tua yang perempuan menjadi hitam bukan karena sirih. Melainkan karena diberi pewarna hitam untuk bersolek ketika masih muda jelang jadi pengantin. Konon menurut ceritanya agar kelihatan cantik.
Seperti yang dikatakan seorang perempuan paruh baya berumur sekitar 60 tahun yang dipanggil kami panggil amay (ibu,red) ketika sedang memasak pulut gawai. Menurutnya, tradisi menghitamkan gigi sebagai kemolekkan seorang perempuan. Sebab dulunya para perempuan agar kelihatan cantik, maka giginya diasah dan dijadikan hitam.
Warna hitam dibuat dari getah pohon yang diambil dari pohon kayu Buaja. Getahnya diambil dan ditaruh di besi usai dibakar dan didinginkan. Kemudian dioleskan 5-6 kali, maka gigi akan mendapat warna hitam yang bagus. “Dulunya gigi hitam untuk bersolek untuk bisa jadi pengantin,” jelasnya. Selain itu, untuk ketahanan gigi, agar jangan gigi kena ulat,” tambahnya sambil memantik mancis untuk menyalakan rokok lintingan kemenyannya.
Lintingan Rokok Dari Hasil Pohon Kemenyan
Para perempuan tradisi memiliki kebiasaan merokok.(FOTO/SRC/imelda)
Berbeda dengan lintingan rokok di desa lain di Indonesia, perempuan adat dan laki-laki wilayah ini mengisi lintingan rokoknya dengan kemenyan.Kemenyan biasanya digunakan untuk ritual berkomunikasi dengan roh. Namun dalam tradisi Talang Mamak kemenyan yang diambil dari pokok kayu kemenyan di hutan mereka, dijadikan lintingan rokok.Dalam gawai merokok bukan saja bagi laki-laki adat Talang Mamak, tetapi juga kebiasaan perempuan adat Talang Mamak yang kerap kita jumpai di pertemuan-pertemuan adat.
Ketika jamuan rangakain gawai saat pertemuan adat pagi hari dijamusarapan pagi kue dan minum kopi. Tampak pengantin perempuan Leni menyambut istri bathin dengan memberikan rokok dan sirih di sebuah tapak. Hampir rata-rata perempuan yang duduk hadir di ruangan pertemuan pada Jumat (17/3/2023) merokok.
Langkanya Perempuan Pengerajin Tembikar
Tini (paling kiri) istri Dukun Marusi yang mengajarkan bagaimana membuat tembikar. Tini adalah generasi yang sempat mengeyam pendidikan bagaimana mengerajin dari orangtuanya terdahulu, (FOTO/SRC/imelda)
Dampak paling besar atas hilangnya hutan sebagai sumber kehidupan adalah perempuan. Kreativitas perempuan dalam menyiapkan segala kebutuhan rumah di dasar atas kebutuhan pangan, air dan udara yang semuanya bersumber dari hutan. Hutan habis, maka pangan juga habis, air juga habis, karena hutan habis dan sulit mendapatkan udara yang bersih.
Dampak yang besar bagi perempuan adat tersebut, ialah sulitnya memenuhi kebutuhan hidup mereka yang biasa diambil dari alam hutan. Misalnya membuat tikar dan mengerajin barang-barang kebutuhan hidup mereka.
Ketika hutan masih lebat, para gadis remaja sudah belajar membuat kerajinan untuk dikonsumsi sendiribukan dikomersilkan.. Hal ini dikatakan istri kementan Talang Parit Tini (45), ketika ditemui di rumahnya di Desa Talang Parit yang sedang membuat tikar dari pandan untuk ia gunakan sendiri.
Ia katakan kini sulit untuk menemukan pengerajin peralatan dari pandan. “Generasi saya masih diajarkan bagaimana membuat tikar, karung dan lainnya dari pandan. Tetapi karena hutan sudah tak ada, maka menemukan orang pengerajin seperti ini sudah langka. “Apa lagi yang ada, hutan sudah tidak ada, sudah jadi sawit semuanya,” ujarnya.
Budaya Sambung Ayam, Judi Yang Hanya Ada Ketika Gawai
Budaya sambung ayam saat gawai. Ayam yang kalah disumbangkan untuk dimasak bagi tamu undangan gawai. (FOTO/SRc/imelda)
Kompetisi mengadu ayam jantan atau sabung ayam, masih lekat di ingatan generasi yang lahir 19-70-an dan 1980-an. Sebab generasi tersebut masih menjumpai kebiasaan warga kota terutama di Pekanbaru, masih ada yang kerap mengadu ayam ketika era tersebut dibandingkan generasi z yang lahir terkini.
Namun berbeda halnya jika kita berada di lokasi masyarakat tradisi Talang Mamak. Saat tradisi gawai dilakukan, maka tradisi permainan sabung ayam merupakan salah satu tradisi Suku Talang Mamak, suku pedalaman yang tersebar di berbagai daerah seperti Kecamatan Siberida, Kelayang, Rengat Barat dan Rakit Kulim yang ada di Indragiri Hulu berbatasan Jambi juga dilakukan. Demikian juga di Talang Mamak Yang ada di di Talang Parit.
Pelaksanaan permainan ini dikarenakan keyakinan masyarakat Talang Mamak, bahwa permainan ini merupakan perintah Tuhan, sehingga harus dilestarikan. Permainan sabung ayam tidak hanya pada pesta pernikahan, tetapi juga ketika syukuran kelahiran bayi, resepsi pernikahan dan memperingati kematian seseorang.
“Jika tidak ada sambung ayam, maka adat kami tidak ada,” ujar Kepala Bathin Talang Parit Irasan, Sabtu,18 Maret 2022.
Seiring adanya tradisi memasak bersama, ketika itu juga sebelum melakukan resepsi pernikahan Suku Talang Mamak pada lokasi yang sama mengadakan sabung ayam. Sebuah lokasi di samping halaman rumah, di blok petak tertutup setinggi setengah meter, dengan panjang sekitar 7 x 7 meter. Di dalam blok yang ditutup tersebut, bagi ayam jago yang sudah ditawar harga taruhannya akan masuk gelanggang.
Jika yang kita ketahui sambung ayam dilakukan bagi ayam jago yang bertaji. Makin mantap tajinya makin besar kemungkinan menang. Namun berbeda dengan sabung ayam di Talang Mamak. Sabung ayam ini juga tergolong unik, ayam-ayamnya tidak dibiarkan bertarung secara alami. Tetapi aturannya para pemiliknya ayam-ayam yang akan bertarung dipasangkan pisau/badil kecil melengkung sebagai pengganti taji.Tak ketinggalan mereka juga bertaruh dalam sabung ayam ini. Bahkan taruhan hingga jutaan rupiah. Yang kalah berkewajiban membayar taruhan dan yang menang berhak menerima kedua uang taruhan.
Selain sebagai hiburan dalam rangkaian upacara adat Talang Mamak, apabila sabung ayam ini ditiadakan, maka upacara adat terasa tidak akan lengkap. Sebab sabung ayam juga berguna untuk menambah lauk yang akan di masak pada pesta pernikahan. “Jadi, ayam yang kalah akan di potong dan di jadikan hidangan pesta,” Ada semacam gotong royong menyumbang makanan daging ayam di pesta tersebut. Jadi pesta tidak ditanggung sendirian oleh keluarga yang berpesta,” jelas Bathin Irasan.
Ketika suarariau.co dan peserta fellowship lainnya masih berada sampai hari kedua, hingga sore hari, sabung ayam masih berlangsung dan terdengar suara-suara sengit atas ayam jagoan dan taruhan mereka, sambil menyerukan kemenangan salah satu ayam jago yang akan menang atau draw sesuai taruhnyanya masing-masing.
Pencaplokan Lahan dan Hidup di Lahan “Kering” Yang Tersisa
Lahan sawit di Talang Parit. (FOTO/SRc/imelda).
Tradisi dan cara-cara kehidupan mereka menggunakan tungku, melakukan pengobatan, ritual adat dan barang-barang serta bahan dari hutan, mengingatkan kita bahwa mereka memiliki ikatan bathin yang sangat kuat dengan hutan alamnya.
Hutan menurut mereka bukan hanya sebagai tempat tinggal yang menyediakan berbagai fasilitas hidup. Tetapi telah melahirkan pedoman hidup yang membentuk budaya yang bernilai tinggi yang masih ditemui di era teknologi virtual ini. Meskipun alam hutan mereka hancur dan telah berubah jadi sawit, namun tradisi mereka tetap masih berjalan dengan memanfaatkan hutan dan semak belukar yang tersisa.
Namun persoalan hidup bergantung dengan alam hutan yang kini berubah jadi sawit telah menimbulkan petaka berkepanjangan. Hilangnya hutan menyebabkan terancamnya kehidupan wilayah dan kumunitas adat mereka.
Tragisnya hal ini sejak masuknya PT Inecda Plantation sebuah perusahaan dari negara Korea Selatan ini menjadi menambah sejarah penjarahan panjang hutan. Habis era penebangan kayu log untuk kepentingan industri pulp and paper masuk orde sawit.
PT Inecda Plantations yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit awalnya memiliki luas lahan HGU 1 (Hak Guna Usaha) berdiri 2 Januari 2001 dengan luas 6357,9 ha dan HGU 2 (Hak Guna Usaha) berdiri 28 April1999 memiliki luas 3108.147 ha.’Kini sudah beratus ribu hektar.
Bathin Irasan (FOTO/SRc/imelda)
Menurut Bathin Irasan, dulunya ketika Talang Parit masih dikelilingi hutan lebat, mereka bekerja sebagai peladang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun kini kondisi tidak sama lagi. Semua telah berganti sawit. Panas pun mengelilingi perkampungan. Yang namanya hutan sudah habis, sungai jadi kering sudah tak ada pelindungnya. Pelindung sungai telah berganti sawit.
Kades Sudirman mengatakan, sekitar 1.800 kepala keluarga masyarakat adat Talang Mamak, yang tersebar di delapan desa di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat.
Khusus di Talang Parit sekitar 400-500 Kepala Keluarga. Mayoritas masih hidup miskin dan berpendidikan rendah. Keberadaan belasan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di kawasan itu belum meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Talang Mamak.
Ia juga mengatakan, masyarakat adat Talang Mamak sudah jengah dengan janji-janji para kepala daerah yang hanya rajin mengunjungi mereka sebelum pesta demokrasi pemilihan umum.”Setelah terpilih lupa dengan janji.Talang Mamak seperti hanya dibutuhkan saat pemilu, selebihnya ditinggalkan," ujarnya.
Sedangkan janji PT Inecda Plantation untuk memberikan pola KKPA, kenyataannya justru kebun mereka kini juga sudah jadi kebun inti perusahaan tersebut.
Sungai Hilang, Air Tercemar
Meningkatnya ekspasi kebun sawit yang awalnya puluhan ribu hektar, kini menjadi ratusan ribu hektar. Hutan sudah tidak ada lagi, hutan keramat habis. Tiga sungai di wilayah peta adat sudah habis. Tiga lubuk yang ada, yakni Lubuk Sarang Burung, Lubuk Layang dan Lubuk Pulau Berlayar.”Kini hanya tinggal Lubuk Pulau Belayar,” uja Irasan.
Masyarakat tidak bisa berladang karena hutan yang menahan air sudah tidak ada. Air yang jernih yang dulunya mudah ditemukan kini jadi sulit. Karena sudah tercemar dan kering serta tidak direkomendasikan untuk diminum oleh pihak kesehatan. “Ketika saya masih kecil,air sungai masih bisa saya minum langsung,karena belum tercemar,” ujar Irasan.
Kesulitan air bersih juga dikatakan Kades Talang Parit Sudirman. Ditambah lagi dengan kontur tanah yang bebatuan di dusun wilayah perbukitan sulit melakukan pembangunan sumur bor meski sudah puluhan meter digali. Sementara di dusun yang berawa dan bergambut airnya merah.
Ketika ia mendapat kesempatan menjadi Kades di tahun 2018, Sudirman memanfaatkan dana desa ,untuk membangun sumur bor di sebelah kantor desa yang terletak di Dusun II.”Kini itu jadi sumber air bagi masyarakat dusun lain yang sulit air, terutama saat musim kemarau. Sebab wilayah dusun II dan III masih lebih mudah mendapatkan air bersih,” tambahnya.*** (bersambung)