SuaraRiau.co -“Tuk,tuk..tuk…tuk..tuk..tuk…bunyitumbukan kayu ke tanah terdengar.”Bunyi hentakan kayu log berukuran diameter lebih kurang 10-15 centimeter yang panjangnya lebih kurang 2 meter menusuk perut bumi terdengar dan tampak menumbuk tanah agar terbuat sebuah kubah lubang. Beberapa kali hentakan menusuk perut bumi tersebut dilakukan beberapa laki-laki dari Suku Talang Mamak ditemui jurnalis fellowship adatpedia.com pada 16-19 Maret 2023 berkunjung ke Desa Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu,Riau.
Bunyi hentakan kayu demikian ditambah suasana hiruk pikuk, suara kokok ayam dan kebisingan kesibukan warga yang berkumpul, memecahkan suara alam tradisi tersendiri yang mengingatkan kita pada sebuah kehidupan yang sangat dekat dengan alam. Suasana tersebut, meski ada terdapat sentuhan modern seperti penggunaan handphone, motor dan beberapa hal lainnya. Namun suasana di Desa Talang Parit ini masih memiliki sentuhan alam yang sulit ditemukan pada kehidupan warga perkotaan dan masyarakat modern.
Laki-laki membuat tumang dengan menggali lubang menggunakan kayu log berdiameter kecil. (FOTO/SRc/imelda)
Beberapa laki-laki dari Suku Talang Parit melakukan pasak kayu dengan membentuk barisan jejeran tungku kayu triangle (segi tiga) yang berbaris tiga dan bersap tiga yang disebut tumang. Kayu tersebut dipasak ke bumi dengan puncaknya muncul kepermukaan setinggi lebih kurang 30 centimer.
Selama tiga hari berturut-turut warga dan perempuan Adat Suku Talang Mamak yang berada di Desa Talang Sungai Parit,sibuk melakukan persiapan tradisi memasak bersama untuk gawai.
Salah satu tradisi tersebut, menyediakan masakan nasi pulut. Memasak nasi pulut yang juga didampingi sejumlah laki-laki adat.
Acara tradisi memasak nasi pulut dilakukan karena keponakan dari keluarga Kepala Desa Talang Parit Sudirman mengadakan gawai atau pesta pernikahan bagi seorang keponakan perempuannya bernama Leni (17) yang mendapatkan jodoh pengantin laki-laki dari Desa Talang Limau bernama Ijus (18).
Sejumlah laki-laki membuat tungku kayu yang dipasak ke perut bumi hingga tinggal sekitar lebih kurang 30 centimeter di atas permukaan bumi. Hasilnya, tampak tungku kayu yang dibuat dari kayu log berdiameter lebih kurang 15-20 centimeter berjejer berbaris tiga ke depan dan ke belakang. Kemudian, tungku itu disusun kayu api untuk memasak.
Tak lama kemudian beberapa laki-laki adat dewasa (terutama yang sudah menikah, red) memasang kayu bakar dan memercik api dengan mancis ke masing-masing kayu bakar dari tungku kayu berbentuk triangle yang dipasak miring tersebut. Kemudian masing-masing tungku dijaga oleh dua orang laki-laki. Keduanya mengangkat periuk besar berdiameter sekitar 30 centimeter yang telah diisi beras pulut yang sudah diisi oleh perempuan adat Talang Parit.
Nasi pulut dimasukkan ke dandang yang besar oleh para ibu di sebuah tempat pondok atau gazebo tradisional dari kayu bertangga, beralaskan rotan dan atap rumbia. Gazebo seperti ini bisa ditemui pada setiap rumah adat Suku Talang Mamak di sekitar halamannya.
Lalu secara bergotong royong para perempuan yang sudah berumur bekerja di pondok tersebut dan sekitar halaman samping rumah pemilik gawai.Para ibu tersebut mencuci beras pulut dan dimasukan kedalam dandang kukusan sambil beberapa diantaranya bekerja dengan santai dan mengunyah sirih. Kemudian sebelum dandang ditutup, di bawah tutupnya diberikan alas daun pisang.
(FOTO/SRc/imelda)
Peralatan yang ada umumnya menggunakan beberapa periuk tungku kayu dan alat-alat tradisional seperti sendok dari kayu yang dibentuk ceper, sendok dengan batok bagian atasnya dari tempurung kelapa dan karung dari daun sangai. Dan ada yang dari pandan bambu merupakan bahan dari hasil hutan.
Tak berapa lama para perempuan menyusun beras ke dalam dandang masing-masing selesai, dua orang pria mengangkat dandang pulut ke tungku api dan menjaga api tetap menyala sampai pulut matang.
(FOTO/SRc/imelda)
Sekitar 30 menit tungku kayu api memanggang dandang kukusan pulut. Lalu diangkat oleh para laki-laki yang bertanggungjawab atas tungkunya.Kemudian diangkat kembali dinaikkan ke atas pondok. Setelah itu dikemasi lagi oleh para perempuan adat dengan mengeluarkan pulut yang sudah masak di atas beberapa daun pisang yang berdaun lebar dan mewarnainya dengan santan berwarna putih dan kuning.
Tak berapa lama, ramai-ramai perempuan tradisional yang umumnya sudah berumur 45 tahun keatas itu, turun dari pondok kayu. Masing-masing perempuan tersebut, memegang selembar daun pisang yang cukup lebar dan panjang untuk sajian makan gawai.Mereka bergembira memanggang daun pisang ke tungku dengan api sisa pembakaran nasi pulut.Bak seperti akan menari mereka mengitari tungku sambil memanggang daun pisang.
Ketika ditanyakan wartawan soal memasak nasi pulut tersebut, menurut sejarahnya, ujar seorang ibu berumur sekitar 60 tahun,bahwa tradisi memasak nasi pulut itu jadi sajian utama untuk menjamu tamu undangan gawai.Disajikan saat Bathin Talang Parit menikahkan pasangan saat gawai dimulai esok harinya.
Sebab jelasnya, memakan nasi dari beras itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun untuk pesta, diperlukan makanan yang lebih spesial untuk para tamu. Untuk itu, makanan pulut sebagai makanan favorit pesta dan dianggap mewah yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu. “Pulut jadi makanan tradisi dalam gawai,” ujarnya dengan bahasa diterjemahkan oleh pemudi tempatan Wulan Mardiana Ningsih (20) yang dipangggil Nining.
Setelah pulut masak dikeluarkan dari dandang.Kemudian ditapik (dipukul-pukul, red) secara bersama oleh para perempuan adat dengan kayu sendok ceper di pondok tradisional hingga pulut menyatu.
Pulut diberikan warna dari santan putih dan santan kuning yang diberi kunyit. (FOTO/SRc/imelda)
Pulut tersebut sebelumnya sudah diberikan warna santan putih dan kuning (seluruhnya, dibagi dua warna, red). Setelah warna rata dan ditapik, maka dimasukkan kedalam karung pandan yang bahannya juga didapat dari hutan.
Keesokan harinya saat pagelaran perayaan, kedua belah pihak makan bersama atau makan Gedang pulut dengan sajian kue-kue dan bubur kacang.”Kemudian pulut disajikan keesokan harinya saat makan pagi ketika upacara adat petahbisan Bathin terhadap kedua pengantin. Untuk tempat makanan tersebut dibariskan dengan menggunakan dulang yang berbaris delapan yakni, yang alasnya dengan daun pisang.”Dan para gadis merapikan. Dan kemudian dibagikan ke bathin dan para tokoh adat serta undangan lainnya dengan alas daun pisang,”ujarnya.
Raut muka ibu tersebut berubah ketika ditanyakan dari mana pulut diperoleh warga ketika gawai demikian. Sebab dulunya Suku Talang Mamak mendapatkan beras dan pulut dari hasil ladang mereka menanam padi. Tetapi kini ladang padi mereka hanya tinggal seadanya. Tersuruk diantara lahan yang tersisa dari pencaplokan lahan adat mereka setelah kehadiran perusahaan sawit. Untuk itu, tiap ada gawai, pulut dibeli di pasar.’Jika dulu, pulut dan padi kami tanam. Tidak beli,” ujarnya. Sejak lahan jadi sawit sulit menanam padi dan pulut lagi, “tambahnya.
Padi dan pulut merupakan salah satu dasar hidup dan tradisi yang membawa keberadaan Talang Mamak masih tetap ada. Namun tradisi Talang Mamak bukan hanya memasak nasi pulut.
Tradisi memasak pulut bersama adalah salah satu pesona masyarakat adat yang masih eksis diantara belantara kebun sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Orang Talang Mamak menunjukkann indentitasnya secara tegas sebagai orang adat Langkah Lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti memegang teguh aturan di bawah kepemimpinan seorang Bathin. Jika dulunya banyak memakai sorban dan songkok, namun kini tidak lagi. Mereka kerap memakan sirih dan membuat gigi bergarang berwarna hitam.
Dalam lingkaran hidup mereka masih melakukan upacara adat mulai dari dilahirkan dengan bantuan dukun bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai),berobat, beragul (menghibur orang kemalangan) dan upacara betambak (menghormati roh orang yang sudah meninggal dan memperbaiki kuburan dalam rangka indentitas status sosial).
Mitos yang merupakan warisan turun temurun yang menjadi sumber pengetahuan mereka sehari-hari. Dalam keseharian mereka selalu merujuk apa yang diwariskan leluhurnya. Warisan leluhur yang disebut dengan aturan adat yang mengatur semua lini kehidupan mereka.Mulai dari pesta kawin, menanam padi, membuka lahan,upacara kematian, memilih bibit dan sampai waktu baik untuk beraktivitas.
Kehidupan Masyarakat Talang Mamak mulai terusik dan diporakporandakan oleh kahadiran HPH dan investor sawit. Selain itu penempatan transmigrasi dan sisanya dikuasai migran.
Terusiknya kehidupan Talang Mamak dimulai sejakt tahun 1984. Khusus Talang Parit kini lebih banyak dikuasai oleh hamparan sawit perusahaan sawit. Mereka merasa sebagai besar batas wilayah mereka banyak hilang sejak keberadaan sebuah perusahaan sawit yang besar asal Korea Selatan. Akibatnya, penyempitan lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut dengan baik. Untuk itu diperlukan beradaptasi yang baik.Namun tahun demi tahun beradaptasi tidak lagi bisa dilakukan dengan semakin besarnya HPH dan lading sawit membuat kehidupan suku ini terancam.
Meskipun masih terjebak di “jalan terjal” untuk memperoleh pengakuan wilayah dan masyarakat adatnya, akibat solusi yang tak kunjung jelas, namun tradisi masih bisa kita lihat ketika jurnalis fellowship menengok tradisi mereka dari dekat.
Lalu bagaimana cerita kehidupan tradisi Talang Mamak yang juga dasar hidup masyarakat ini. Inilah cerita lainnya dari tradisiSuku Talang Mamak di Talang Parit yang terusik oleh kehadiran investor sawit:
Pengobatan Dukun Yang Sangat Terancam
Marusi (48) adalah Kementan/ Dukun Talang Parit. (FOTO/SRc/Imelda)
Oleh karena hidup masyarakat adat Talang Mamak hidup bergantung dengan alam hutan, hal ini sama artinya untuk kesembuhan penyakitpun bergantung dari bahan-bahan dari hutan.
Hal ini dikatakan oleh Dukun Talang Parit bernama Marusi(48). Laki-laki yang ramah ini menjelaskan kedudukan Dukun merupakan salah satu dari tiga jabatan penting di Tigo Langeng Kedudu-an setiap Kebathinan Suku Talang Mamak,yakni Bathin, Dukun dan Kementan.
Sebagai seorang yang disahkan sebagai Dukun, ia mengatakan tanggungjawabnya adalah untuk mengobati warga Talang Mamak.
Segala ritual pengobatan yang dilakukannya berasal dari hutan. Oleh karena hutan sudah habis oleh pembangunan perusahaan. Tidak ditemukan lagi pohon-pohon kayu yang besar. Sebab perusahaan tersebut membuka lahan dan membutuhkan puluhan ribu hingga ratusan ribu hektar lahan untuk sawit. Oleh karena hal tersebut telah ikut meluluh lantahkan hutan adat dan keramat mereka yang dikenal dengan Rimba Puaka (Hutan Rimba Pusaka). Sebab, seperti bahan-bahan kedukunan damar,asam paya, kelubi dan lainnya berasal dari hutan. Tetapi jika kayu hutan tidak berusia 20 tahun atau lebih, maka semua kebutuhan mereka tidak ada. “Jika ditanam sulit tumbuh, karena pertumbuhan itu adalah dari Allah sendiri, “ujarnya.
Ia mengaku bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan atas petaka hilangnya sumber hidup mereka.”Tidak ada hal yang bisa saya lakukan untuk mengantisipasinya,” ujar Marusi.
Dirinya tidak bisa berbuat banyak dalam melindungi habisnya hutan. Sebab yang mereka hadapi adalah perusahaan besar. Sebagai dukun ia tidak bisa berbuat banyak. Marusi memperumpamakan istilah “Marit hendak sampai ke langit, Mantam hendak sampai kebumi”. “Terbatas kemampuan saya,” ujarnya dengan nada menyerah.
Harapannya kedepan pada pemerintah ialah,bisa membantu membiarkan wilayah hutan mereka tumbuh kembali secara alami dan berkembang luas agar bisa digunakan masyarakat adat mereka.”Kalau bisa kedepannya tolong hutan kami bisa dibiarkan berkembang luas untuk ade pertumbuhan hutan. Agar masyarakat adat bisa mengambil bahan di situ,” ujarnya.”Jika tidak, kehidupan masyarakat adat terancam punah untuk menjaga tradisinya,”ujarnya dengan logat daerah.
Rumah Asli Talang Mamak
Ventilasi rumah asli Talang Mamak umumnya berventilasi seadanya dan memilikimpintu yang selalu terbuka 24 jam. Tampak rumah beratapkan rumbio dan didalamnya berlantai bambu. (FOTO/SRc/imelda)
Setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas bangunan atau memiliki rumah adatnya. Selama kunjungan jurnalis fellowship adatpedia.com, ke Desa Talng Parit setidaknya ada 4 rumah yang disinggahi, yakni Kades Talang Parit, rumah yang sedang begawai, rumah salah satu warga Talang Mamak yakni Nining dan rumah Dukun. Mengunjungi rumah mereka kerap dijumpai model asli rumah Suku Talang Mamak.
Rumah Suku Talang Mamak memiliki fungsi sebagai rumah tinggal, serta tempat melakukan upacara adat, seperti sebagai tempat begawai, naik tambak dan tempat bedukun.
Secara umum, rumah tinggal Suku Talang Mamak terdiri dari satu bangunan utama dengan ruangan yang terbuka tanpa sekat dinding antar ruang.. Umumnya memiliki ventilasi dari segala arah seperti jarak kayu sepanjang dinding sebagai lubang angin/ventilasi. Demikian juga dari bawah atau lantainya.
Ruangan terbuka tersebut dibagi menjadi tiga bagian ruang yaitu haluan, tangah dan tampuan. Batas-batas ruang ditandai dengan adanya bantalak atau bandul, semacam jelujur kayu atau bambu yang diletakkan di lantai.
Rumah Kementan. Tampak lumbung padi tradisional di sisi kiri belakang rumah. (FOTO/SRc/imelda)
“Dalam tata ruang rumah tinggal Suku Talang Mamak, ketiga ruangan di atas menjadi sesuatu hal yang penting. Hal tersebut dikarenakan jika rumah tidak terdiri atas tiga ruang, maka rumah tersebut tidak bisa digunakan untuk upacara begawai. Suatu upacara perkawinan yang dilaksanakan di ruang tangah, dan
berkedudukan sebagai upacara yang paling utama dalam sistem sosial masyarakat Suku Talang Mamak.”Khusus untuk para tokoh adat seperti bathin, dukun dan kementan rumahnya dibuatkan sesuai aturan adat,” ujar Marusi.
Sementara ujar Nining, jika rumah warga Talang mau mengadakan pesta namun tidak memiliki rumah seperti aturan adat, maka bisa dirembukkan akan memakai rumah warga kerabat terdekatnya yang sesuai tata ruang adat mereka.”Umumnya rumah adat seperti begini dipakai pinjam untuk pesta/gawai,” jelas Nining.
Pada bagian tampuan maupun haluan terdapat paran atau sejenis ruangan yang ditinggikan sehingga menyerupai lantai atas sehari-hari digunakan sebagai tempat untuk meletakkan barang-barang untuk berladang. Selain itu, ada pula ruangan yang menyerupai paran yang disebut dengan paran ginding. Ruangan ini letaknya berseberangan dengan paran dan berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis. Untuk dapat menjangkau paran maupun paran ginding digunakan tangga turkis yaitu sejenis tangga dari sebatang kayu yang diulir. Jika paran terdapat pada bagian tampuan maka paran ginding akan terletak di bagian haluan, dan begitu pula sebaliknya.
Pandapuran selalu berada di sisi tampuan, karena masyarakat suku Talang Mamak percaya bahwa apabila letak pandapuran tidak berada di tampuan, akan memberikan penyakit atau kesialan. Biasanya pandapuran ini terdapat tungku dari sarang anai-anai untuk memasak.Namun, kini kompor gas juga sudah umum dipakai. Namun demikian tetap juga ada tungku kayu api.
Bangunan inti dan pandapuran yang menempel pada bangunan inti merupakan konfigurasi massa bangunan yang paling lazim ditemukan pada bangunan rumah tinggal Suku Talang Mamak.Namun demikian terdapat pula variasi ruang lainnya seperti misalnya di bagian depan dari rumah ada semacam selasar juga sering mendapatkan adanya palantaran yang difungsikan untuk tempat bersantai atau biasa disebut dengan selasar.
Selain itu, bagian tangah terdapat pula sebuah massa bangunan yang terletak menempel pada sisi luar bangunan yang disebut dengan barkas / belubur / rangkiang padi yang berukuran sekitar 2x3 meter. Rangkiang padi berwarna coklat jerami itu cukup tinggi dari permuakaan tanah. Fungsinya sebagai tempat untuk menyimpan padi dan benih padi. Barkas ini hanya terdapat pada rumah yang pemiliknya berladang padi. Kini ujar Ayu seorang pemudi yang menjadi citizen journalism adat pedia.com masyarakat asli Talang Parit mengatakan , kini rumah model asli Talang Mamak tidak banyak lagi.
“Sedangkan jika pemilik rumah tersebut sudah tidak berladang padi atau meninggalkan pekerjaan tersebut barkas tidak lagi ada pada rumah tersebut,” ujar Ayu.
Pada beberapa rumah, selain terdapat palantaran berkas yang bentuknya ada gantungan rak. Hal itu merupakan ruangan mesanin yang berfungsi sebagai tempat sesajen dan juga bahan-bahannya. Fungsinya sebagai tempat bedukun atau berobat. Tidak semua rumah memiliki surauan. Hanya rumah yang dianggap besar dan mampu melaksananakan upacara bedukun saja yang memiliki surauan,” jelas Nining.
“Yang jelas beginilah rumah asli Talang Mamak banyak lubang ventilasi seadanya dari bawah, kiri dan kanan (dinding kiri dan kanannya).Biasanya berukuran besar, tidak memakai langit-langit (agar pandangan dukun tembus ke langit, red) dan juga menggunakan kulit kayu,’ujar Marusi. ***(bersambung)