Eco

Listrik Mikrohidro di Batu Sanggan: Meski Biarpet, Tetap Jadi Andalan Warga

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2020-11-30 18:40:03 WIB
Aben mengerjakan pesanan kapal kayu memanfaatkan ketam listrik di kilangnya, Desa Batu Sanggan, awal November 2020

SuaraRiau.co -Tidak seperti biasanya, Jumat, 30 Oktober 2020 malam, kondisi kampung cukup ramai. Banyak lelaki kepala keluarga menyempatkan diri pulang kampung, ke Desa Batu Sanggan, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Agenda khususnya adalah rapat persiapan pengukuran lahan ulayat yang dijadikan lahan perladangan. Ada kabar beredar, tak jauh dari perladangan mereka akan dilaksanakan proyek pemerintah yang sangat mungkin mengenai ulayat masing-masing.  Karenanya, mereka ingin memetakan lahan tersebut.

Pemetaan akan dilakukan bersama-sama. Dua hari mereka berada di area hutan untuk mencatat titik koordinat yang akan dimasukkan ke peta perladangan masing-masing keluarga. Semua swadaya dilakukan.

Sebatang pohon tumbang ke bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Batu Sanggan, akhir Oktober 2020.

 

Blep, tiba-tiba sinar lampu pijar yang terpasang di teras rumah meredup. Namun, tak pula mati. Tak berapa lama, terang maksimal kembali.

Tak ada satu orangpun yang menanggapi kejadian itu. Diskusi terus berlangsung. Yang mempresentasikan rencana terus berbicara.

Kemudian, kejadian serupa berulang. Lampu-lampu meredup beberapa saat, lalu terang maksimal lagi.

Kondisi demikian teramat biasa di kampung ini. Ketika waktunya beban puncak, sekira pukul 19 hingga 21 malam, ada kalanya tegangan listrik menurun. Cahaya lampu-lampu pun ikut redup.

Marhalim, operator Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Batu Sanggan tengah berupaya menghentikan sejenak kerja turbin pembangkit, akhir Oktober 2020.

 

Barang Mewah

Kisah listrik negeri ini memang naik dan turun. Saat ini, musim hujan, listrik bisa dinikmati 24 jam sehari.

Sesuatu yang mewah tatkala musim panas. Pada masa itu, listrik hanya bisa diharapkan mengalir dari sekira pukul enam sore hingga kitaran pukul sembilan malam atau lebih awal lagi. Tak sejalan dengan penghasilan warga yang sebagian besar memperolehnya dengan menderes karet di kebun masing-masing. Pada musim kering, penghasilan mereka akan lebih baik.

Pasokan hanya bisa dikirimkan satu pembangkit energi baru terbarukan (EBT), tepatnya pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh). Pembangkit desa ini sangat bergantung kepada debit air Sungai Sanggan, anak Sungai Subayang yang merupakan sungai utama di lokasi Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SM BRBB).

 Desa dengan publiknya masyarakat adat Kenegerian Batu Sanggan berada dalam naungan Kerajaan Gunung Sahilan. Kerajaan yang kembali mengukuhkan raja tiga tahun terakhir setelah sekian tahun hampa kepemimpinan.

 

Sebagian desa di kecamatan ini berada di dalam kawasan SM BRBB seluas 141.226 hektare. Lokasinya di sepanjang Sungai Subayang hingga ke hulu. Tiada akses jalan darat. Transportasi hanya dapat menggunakan perahu kayu kecil bermotor, yang dalam bahasa setempat disebut piyau.

Topografinya berbukit dan masuk dalam jalur Perbukitan Bukit Barisan. Kondisi geografis demikian menyulitkan pembangunan infrastruktur kelistrikan dan telekomunikasi. Ditambah moda transportasi yang hanya piyau. Termasuk pula status dalam kawasan hutan konservasi yang membuatnya harus menempuh izin khusus terlebih dahulu untuk melakukan aktivitas pembangunan fisik apapun.

PLTMh yang sudah berdiri tahun 2010 itu berkapasitas 30 KiloWatt (KW). Namun, daya yang dialirkan ke konsumen hanya 25 KW.

Daya sebesar itu disalurkan kepada 115 rumah tangga yang ada di Desa Batu Sanggan. Faktanya, sebagaimana disampaikan Wali (Kepala) Desa Indusri dan masyarakat setempat pada awal November ini, jumlah rumah tangga yang riil menghuni desa hanya 73 rumah tangga. Total penduduk 423 jiwa.

Masing-masing pelanggan atau rumah tangga itu dipersilakan memakai listrik kitaran 200 VA sebulan. Jumlah tersebut disepakati warga ketika perundingan awal jelang pengoperasian pembangkit.

Untuk pengelolaan dan kebutuhan perbaikan pembangkit dan jaringan, masyarakat beriur Rp30 ribu sebulan. Merata setiap rumah tangga, meskipun peralatan listrik di tiap-tiap rumah tangga berbeda. Pengelolaan dana listrik ini dilakukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Batu Sanggan.

Turbin pembangkit listrik desa cukup berjarak dari kawasan pemukiman. Berada di anak sungai, kedudukannya di bukit seberang pemukiman. Sedikit ke hulu. Menggunakan perahu, ia diperkirakan berjarak tak lebih dari lima kilometer. Perjalanan hanya lebih kurang 10 menit.

Posisinya cukup tinggi dari bibir sungai. Bendungannya jauh lebih tinggi lagi, di tengah kawasan hutan primer yang amat jarang ditempuh manusia. Jarak antara bendungan dengan rumah turbin tak lebih dari dua kilometer.

Diungkapkan Harisman, konsultan EBT, ketinggian bendungan dari turbin lebih kurang 12 meter. Pipa besi penyalur air dari bendungan berdiameter 40 inchi.

Harisman dalam lima tahun belakangan rutin jasa dan tenaganya dimanfaatkan demi perbaikan pembangkit-pembangkit EBT di desa-desa Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Ia sebelum ini aktif mengajar di Politeknik Kampar dengan kekhususan Bidang Studi Energi Baru Terbarukan.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, kemampuan turbin sebesar 50 KW. Hanya ada satu turbin di sana. Demikian pula, ada satu generator pengolah tenaga yang ditimbulkan menjadi energi listrik. Terdapat satu cadangannya, namun ketika penulis melakukan kunjungan ke sana, kondisinya rusak.

Generator yang bereoperasi itu berukuran 60kVA. Sementara, analisis tenaga dari debit air maksimal yang mungkin terjadi adalah 38 KW.

Sementara, lebar sungai yang dibendung untuk keperluan turbin berkisar 20 meter. Lalu, ketinggian tembok pembendung sungai diperkirakan 10 meter.

 Dua panel surya terlihat di atap masing-masing rumah warga Desa Batu Sanggan, awal November 2020. Sebelum memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, masyarakat mendapat suplai listrik dari pembangkit listrik tenaga surya yang dibagikan Pemerintah Kabupaten Kampar.

 

2015 Rutin

Diungkapkan Harisman, sebagaimana disampaikan pula oleh Marhalim, operator PLTMh, pembangkit di desa yang 90 persen penduduknya bermata  pencarian petani kebun karet itu baru beroperasi tanpa jeda sejak tahun 2015. Meskipun, operasinya sudah dimulai tahun 2010.

Baru rutin itu setelah perbaikan tahun 2015, awal saya terlibat dalam perbaikan-perbaikan yang diperlukan,” ungkap Harisman.

Tahun 2018 terjadi perbaikan besar sekali lagi. Namun, hingga sekarang tak ada lagi perbaikan besar lainnya. Dalam perbaikan besar itu, sebagaimana pengakuan Harisman, biayanya bisa mencapai Rp50 juta. Pendanaan selama ini merupakan swadaya masyarakat melalui tagihan bulanan maupun dana-dana lain yang dimiliki Desa.

Cerita Marhalim, ketika beroperasi pertama kali, hanya bertahan sekira dua bulan. Harisman memberikan alasan, “Dari informasi mereka, kerusakan sangat berat kala itu. Karena dana tak tersedia, baru tahun 2012 mendapatkan perbaikan. Sementara, kontraktor yang membangun fasilitas ini tak dapat mereka hubungi. Semestinya ketika itu masih dalam pengawasan dan tanggung jawab mereka.”

Kisah ironi disampaikan pelaku bisnis EBT dari energi surya tersebut. Memang ada unsur konsumsi berlebihan dari para pemakai. Sehingga, generator tak mampu memasok sebanyak kebutuhan. Maka, sistem pembangkit mini itupun rusak.

“Sebagai manusia yang lama mendambakannya, manusiawi kemudian mereka memanfaatkannya secara full, melebihi kesepakatan yang dibuat,” ungkapnya. Sebelumnya, masyarakat mengupayakan mendapatkan energi listrik melalui generator set diesel pribadi. 

 

Liku Sejarah

Beberapa anak Desa Batu Sanggan bermain bulu tangkis di lapangan olah raga desa pada malam hari, Jumat, 30 Oktober 2020, dengan penerangan dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Roni Hadri yang menjabat sebagai kepala Urusan Keuangan Desa saat perencanaan dan pembangunan pembangkit berkisah, sudah sangat lama Pemerintah Desa dan masyarakat Desa mengusulkan pasokan listrik kepada pejabat dan struktur pemerintahan di atas mereka, utamanya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kampar. Pada 2007, pertama kali terdengar adanya rencana pembangunan itu.

Namun, tahun berikutnya malah pembangunan pembangkit tersebut dialihkan ke desa tetangga. Menurutnya, perencanaan dan peruntukannya ketika itu sudah matang. Namun entah mengapa, di tengah perjalanan, sesaat menjelang pembangunannya, proyek itu jatuh ke desa sebelah.

Hubungan kedua desa sempat terganggu ketika itu. Masyarakat Desa Sanggan mengancam akan menutup akses distribusi material dan perlengkapan lainnya ke desa sebelah. Dengan bahasa lugu masyarakat tetangga, mereka membalasnya dengan pernyataan akan melakukan apapun agar proyek tetap lanjut, meskipun akses untuk distribusi diganggu.

Kelanjutannya setelah protes keras dan ancaman dilayangkan ke Pemkab, masyarakat Desa Sanggan dibujuk dan dibuat tenang dengan pemberian satu panel tenaga surya di rumah masing-masing.

Namun, tahun 2009 proyek pembangunan PLTMh mereka dapatkan kembali. Hingga akhirnya, tahun 2010 listrik dari turbin air itu dapat dinikmati masyarakat. Namun hanya sebentar, sekira dua bulan. Setelah itu, baru sempat diperbaiki tahun 2012 yang juga hanya bertahan sekira sebulan lalu kembali putus aliran hingga tahun 2015.

Erisman menjelaskan, beberapa persoalan yang acap menyebabkan kerusakan. Satu yang paling sering adalah unsur alam yakni terkena petir yang merusak sistem-sistem pembangkit.

Di luar soal itu, pernah pula rumah turbin ini kebanjiran. Namun ketika itu turbin memang tengah rusak, kerusakan yang melumpuhkan pembangkit tahun 2010 silam.

Marhalim melanjutkan kisah perjuangan warga agar pembangkit listrik hadir di tengah mereka. Ia menegaskan, tidak semua pos anggaran disiapkan Pemkab. Banyak hal yang diberikan masyarakat secara swadaya.

Misal,  untuk mengangkut material ke lokasi, masyarakat memberikan jasanya secara gratis dengan bergotong royong. Misalnya, untuk mengangkut pipa besi berdiameter sekira 40 inchi untuk kebutuhan sepanjang lebih kurang satu kilometer. Itu diangkut beramai-ramai sepanjang ratusan meter.

Masyarakat ada menerima upah untuk pengangkutan material pembangunan, seperti pasir dan semen. Namun, itu hanya sekadarnya. Dari hitungan tarif Rp20 ribu untuk satu kali angkut sekarung pasir, realitasnya hanya dibayar Rp4 ribu.

Pasrah

Walau hanya diberi jatah 200 VA sebulan, setiap warga menerima kondisi tersebut. “Ya, tak apa. Sudah lebih baik daripada tak berlistrik,” ungkap Rozi, seorang ibu rumah tangga.

Dilanjutkannya, “Peralatan listrik saya juga tak banyak. Hanya lampu, televisi dan magicom. Paling-paling tambahan blender. Tapi, jarang dipakai juga. Kecuali, kebutuhan memasak banyak.”

“Lebih mudah dan murahlah dibanding harus menyiapkan genset diesel,” Idris, suami Rozi, menimpali.

Sebagian besar warga memang hanya memiliki peralatan listrik seadanya. Seperti lampu, televisi dan perangkat decoder serta magicom dan kipas angin. Lalu, pompa air bagi sebagian masyarakat. Sebagian kecil lain barangkali memiliki kulkas dan mesin cuci.

Listrik bagi mereka hanya demi kebutuhan mendasar saja, yakni penerangan. Ditambah sedikit hiburan dari televisi.

Tak hanya kalangan warga berusia dewasa yang sangat menerima kondisi listrik yang tak selalu dapat diandalkan. Para pemuda atau pelajar juga menerimanya tanpa mengungkapkan keluhan.

“Kami terima-terima saja kondisi ini. Bagi kami ini biasa saja,” kata Sinti, warga desa yang juga pelajar di SMA 1 Kampar Kiri Hulu.

“Ya, kami mensyukuri saja. Tapi, memang inginlah bisa selalu berlistrik dua puluh empat jam. Selalu dapat sinyal juga,” Yeni menambahkan. Yeni adalah pelajar SMA di Kecamatan Bangkinang Seberang.

Dua gadis tersebut harus keluar dari desa untuk bisa menempuh pendidikan lanjutan tingkat atas. Di Batu Sanggan hanya ada satu sekolah dasar dan satu sekolah lanjutan tingkat pertama. Jika ingin melanjutkan sekolah, remaja-remaja di sini harus mencarinya setidaknya di ibukota kecamatan.

Untuk Perekonomian

Meskipun utamanya listrik dimanfaatkan warga untuk kebutuhan dasar sehari-hari, namun beberapa orang memanfaatkannya juga untuk perekonomian mereka. Salah satunya Aben (35), seorang kepala keluarga yang memiliki usaha pembuatan perahu kayu dengan selalu memanfaatkan ketam kayu listrik. Sebelumnya, ia bekerja sebagai petani karet atau buruh penderes karet.

Ada pula keluarga yang membuka warung makan dan jajanan. Yang berjualan makanan ringan atau warung-warung kecil ada pula menjual batu es yang dibuat dari kulkas mereka sendiri.

Warga yang memanfaatkan listrik sebagaimana Aben lakukan ada juga yang bukan untuk perekonomiannya. Seorang kepala keluarga ketika penulis berkunjung tengah bertukang menggunakan ketam kayu listrik. Ia hendak membuat perabot untuk kebutuhan keluarga sendiri.

Cerita listrik yang sendu di sini tak serta merta dipandang kelabu oleh masyarakat. Kini, 12 desa di Kampar Kiri Hulu yang sebelumnya nihil listrik PT PLN dan sinyal telekomunikasi sudah terpasangi tiang listrik. Tinggal lagi penyaluran kabel listrik dan trafo.

Namun begitu, seperti ditegaskan pula oleh Indusri, masyarakat lebih memilih menggunakan listrik EBT. Utamanya karena alasan biaya. Tentu akan sangat jauh berbeda pembiayaan yang harus dikeluarkan warga jika berlangganan PLN.

Jika teraliri listrik 450 VA saja, rata-rata rumah tangga akan membutuhkan biaya lebih dari Rp100 ribu sebulan. Apalagi bila mengambil langganan 900 VA atau 1300 VA. Belum lagi soal hitungan biaya pasang jika menjadi pelanggan PLN kelak. Sementara, dengan PLTMh saat ini, warga hanya wajib membayar iuran Rp30 ribu sebulan.

“Lalu, ada juga kekhawatiran masyarakat jika nanti sudah terpasang PLN, mesin PLTMh di desa ini akan diambil kembali oleh Pemkab sebagai yang memberi bantuan. Bagaimana jika kita tak punya PLTMh lagi, begitu pertanyaan masyarakat,” ungkap kepala desa yang kini menjalankan periode kedua masa kepemimpinannya.

Di luar diskusi-diskusi masyarakat tersebut, Wali Desa bersama Badan Perwakilan Desa memiliki rencana ke depan terkait dengan pembangkit mereka. Pertama, ke depan penerangan-penerangan jalan akan diperbaiki dan dioptimalkan lagi. Utamanya di jalur masuk desa dari pinggiran sungai.

Kemudian, pengelolaan listrik ke rumah-rumah semakin diperbaiki. “Nanti kita akan bahas bagaimana jika di tiap rumah akan kita pasangkan meteran. Sehingga, pembayaran warga nanti sesuai dengan pemakaian mereka,” ungkap Indusri lagi.

Lalu, ada pula perencanaan agar terpasang alat pembatas pemakaian di masing-masing rumah warga. “Jadi, tidak los seberapapun rumah itu bisa memiliki alat-alat berlistrik mereka dapat menikmati listriknya.”

Untuk yang terakhir itu, alasan Indusri adalah untuk keberlanjutan listrik PLTMh. Selain itu, agar ada pemeliharaan yang baik terhadap mesin dan perangkat-perangkat PLTMH. “Bagaimanapun, mesin ada waktunya. Ada masa ausnya,” ujarnya.

 

Listrik PLN

Bohlam lampu di teras rumah warga Desa Batu Sanggan tiba-tiba meredup beberapa saat pada malam hari, akhir Oktober 2020.

Pihak PLN melalui Ahmad Zaki Arfan, Unit Proyek di PT PLN Wilayah Riau Kepulauan Riau (WRKR), Selasa, 24 November 2020, menyampaikan, sejak pertengahan tahun ini tiang-tiang PLN jaringan tegangan rendah sudah terpasang di seluruh desa Kecamatan Kampar Kiri Hulu yang belum berlistrik PLN.  “Tinggal penarikan kabel dan pemasangan trafo saja,” ungkapnya.

“Jaringan tegangan menengahnya tinggal tiga kilometer lagi sampai ke Muara Bio. Ditarik dari Tanjung Belit. Tanjung Belit sendiri sudah menyala,” ungkapnya lagi.

Ia menyatakan, target penyelesaian adalah akhir tahun ini. Karena, program direncanakan selesai 2020. Proyek tersebut sudah dimulai sejak November 2019. “Riau Terang programnya memang 2020. Tapi, kita harus melihat kondisi juga.”

“Kita menghadapi kendala melangsir material. Harus melalui sungai dan dilakukan secara manual,” Zaki melanjutkan.

Hal tak berbeda disampaikan Mulyadi, General Manager Sales Sumatera Bagian Tengah Telkomsel, Kamis, 26 November 2020. “Tim Telkomsel sudah pernah survei ke Desa Batu Sanggan ini. Kita ada kendala transportasi jaringan kabel optik ke lokasi. Radio juga terhalang bukit ke lokasi.”

“Nanti kalau PLN sudah on (menyala, red), kita coba assess (penilaian, red) ulang ya. Khususnya, untuk alternatif transportasi jaringan ke lokasi,” demikian ia menambahkan.

Alternatif lain mengenai jaringan, disampaikan Mulyadi adalah memasukkan Desa Batu Sanggan ke Program Site USO (jaringan telekomunikasi menggunakan satelit). “Yang penting PLN sudah nyala,” ujarnya.

Sementara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kampar Azwan, Selasa, 25 November 2020, menyatakan, meskipun kewenangan ada di pemerintah pusat, namun Pemkab Kampar siap memberikan dukungan kepada pemerintah maupun PT PLN dan pihak telekomunikasi dalam pengembangan listrik dan telekomunikasi desa-desa di Kampar khususnya Kecamatan Kampar Kiri Hulu.

“Untuk program kelistrikan, Pemkab Kampar saat ini tidak lagi bisa menganggarkan, sebab sudah dikelola semuanya oleh PT PLN dan pemerintah pusat. Pemda tak punya kewenangan lagi untuk membangun. Kalau dulu bisa. Kita bisa pengadaan tiang, misalnya, membangun jaringan. Sekarang, tidak lagi," ungkapnya.

Menurutnya, Pemkab Kampar sejauh ini tetap proaktif mengusulkan penambahan jaringan listrik. "Kita memfasilitasi. Mungkin petanya dari kita berikan ke PLN. Termasuk, di Kampar Kiri Hulu kemarin. Ada enam desa yang sudah terpasang listrik berada di kawasan Suaka Margasatwa, kita yang fasilitasi," ungkap Azwan.

Azwan juga mengungkapkan kendala distribusi material ke desa-desa sekitar SM BRBB. “Membawa kabel cukup berat di daerah aliran sungai. Kalau pakai piyau, tak bisa lagi. Kabelnya berat. Makanya, kemarin Bupati jumpa dengan Menteri (Menteri LHK, red), minta Bu Menteri mengabulkan permohonan izin membawa alat berat melintas di daratan yang memang masuk kawasan Suaka Margasatwa," ungkapnya lagi. (Dina Febriastuti)***

Halaman :
Penulis : Suarariau.co
Editor : Suara Riau
Kategori : Eco