Eco

Perempuan Berakit: Menyemai Masa Depan Dari Tunas Bentang Mangrove

  Laporan : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2025-04-09 15:19:20 WIB
Bentang penyemaian Bibit Mangrove, Romana seorang perempuan Pokmaswas Berakit dan anggota KUEP Melati dan Tenggiri ketika bertemu jurnalis Fellowship Field Trip ke Bintan, 11-14 Maret yang lalu. (FOTO /SRc/Imelda Vinolia)

SuaraRiau.co -Desa Berakit, BintanMenahan panas di bawah terik matahari, rasa gatal dan kotor diabaikan oleh para perempuan dari Kelompok KUEP Melati dan Tenggiri saat mereka melakukan penyemaian mangrove. Penyemaian dilakukan di bedeng berkapasitas 50.000 bibit di pantai Desa Berakit, Teluk Sebong, Bintan, Kepulauan Riau.

Hal itu diungkapkan serentak oleh beberapa ibu rumah tangga dari kelompok masyarakat tersebut ketika ditemui jurnalis saat field trip ke Bintan, 11–14 Maret 2025.

"Rasa bahagia, senang, dan gembira membuat hidup ini lebih berpengharapan, terutama saat menanti tumbuhnya tunas baru dari mangrove yang kami semai," ujar Ketua Kelompok KUEP Melati, Muji Astuti.

Aktivitas peduli lingkungan laut ini dilakukan di sela-sela waktu senggang para perempuan Desa Berakit, terutama saat akhir pekan. "Biasanya kami lakukan Sabtu dan Minggu," tambah Muji, wanita berusia 52 tahun, sambil tertawa bersama para perempuan lainnya.

Menurut Muji, ikut andil menanam mangrove tidak hanya bermanfaat untuk menjaga desa dari abrasi, tetapi juga membuka harapan baru untuk meningkatkan ekonomi keluarga para ibu rumah tangga.

Suryana, bendahara KUEP Tenggiri, juga tampak bahagia menjelaskan kegiatan positif ini. Sebab telah menambah pengetahuan mereka untuk jadi alternatif pemasukan ekonomi keluarga. Sebab, saat musim angin utara tiba, para suami tidak bisa melaut, sehingga pendapatan keluarga sangat terpengaruh. "Kalau angin utara datang, kami tak bisa ke laut. Suami saya baru kemarin pertama kali melaut lagi,sejak November tahun lalu," ujarnya dengan logat Melayu yang kental. Dengan adanya kegiatan ini akan melatih kami untuk menambah pemasukan,” ujarnya.

Hal yang sama dirasakan oleh Sudarni, Ketua Kelompok Tenggiri. Ia merasa senang bisa berkontribusi menjaga alam bakau. "Kalau angin utara melanda, rumah-rumah bisa tergenang. Ibu-ibu juga tak bisa cari kerang di laut," katanya.

Bagi Sudarni, hidup mereka sangat bergantung pada hasil laut dan cuaca yang baik. Hutan mangrove yang hijau menandakan kondisi alam yang sehat, yang berperan penting bagi pertumbuhan ikan dan biota laut. "Rumah kami aman karena angin kencang ditahan oleh mangrove. Ikan dan kerang tumbuh subur di bawahnya. Kalau mangrove habis, hasil tangkapan berkurang, dan kami kesulitan memenuhi kebutuhan harian," paparnya.

"Kalau angin utara datang, kami takut abrasi dan tak bisa menangkap ikan atau kerang. Saya juga bantu suami cari kerang. Per kilogram kerang kecil dijual Rp5.000. Dalam sehari bisa dapat hingga Rp60.000. Kami pergi jam 13.00 dan kembali sekitar jam 17.00," katanya memaparkan lagi.

Masuknya musim angin utara  ungkap Sudarni, biasanya berlangsung selama enam bulan, dari November hingga Maret. Selama periode itu, para ibu berusaha mencari penghasilan tambahan, seperti membuat dan menjual kue. Namun daya beli masyarakat juga menurun karena sebagian besar pendapatan mereka berasal dari laut.

Lambat laun, masyarakat mulai menyadari penyebab menurunnya hasil tangkapan laut: rusaknya lahan mangrove akibat penebangan di masa lalu. Ekosistem terganggu, dan hasil tangkapan seperti kerang, kepiting, serta gamad pun menurun. "Dampaknya, para ibu rumah tangga hidup morat-marit, mencari cara menambah penghasilan keluarga," ujarnya menambahkan.

Akibat menurunnya pendapatan, masyarakat nelayan tak bisa menabung. Ketika musim angin utara tiba, kondisi ekonomi memburuk. "Dulu saat mangrove masih bagus, kami bisa dapat Rp200.000 per hari. Sekarang, rata-rata hanya Rp50.000 per hari,"katanya lagi.

Suryana menjelaskan lagi, dengan datangnya angin utara, ekonomi terguncang dan rumah-rumah di pantai terancam hanyut atau tenggelam. "Cari kerang makin susah, harus ke laut yang lebih dalam dan jauh. Berbahaya dengan sampan kecil. Untuk bisa memasak saja sulit. Apalagi kalau tagihan sekolah datang," katanya.

Demikian cerita dari beberapa perempuan KUEP Melati dan Tenggiri dari Desa Berakit, Bintan, dari pesisir Provinsi Kepulauan Riau tersebut.

Halaman :
Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco