Eco

Peduli Tegakkan Mangrove di Bintan, CARE Ubah Cara Pandang Warga di Berakit

  Laporan : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2025-04-09 23:46:49 WIB
Kepala Bidang Kelautan, Konservasi, dan Pengawasan Kelautan Provinsi Kepulauan Riau, Raja Taufik, S.Pi., MH (Baju biru,red) ((FOTO/SRc/imelda V)

SuaraRiau.co -DESA BERAKIT- Banyak hal yang dihadapi dalam mengubah mind set masyarakat. Hal ini juga terjadi ketika CARE memulai program di Bintan, untuk peduyli lingkungan dan gender.

Menurut , Chief Executive Officer Yayasan CARE Peduli (YCP), Abdul Wahib Situmorang menjelaskan, melewatkan waktu sekitar dua bulan untuk mengubah cara masyarakat memandang di Desa Berakit, Bintan, Kepulauan Riau, saat awal menjalankan program di wilayah tersebut. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan CARE berbeda dengan pendekatan pemerintah.

Dikatakan Abdul, meskipun secara umum kondisi hutan bakau di Bintan mirip dengan wilayah lainnya, yang terpenting bagi CARE adalah bagaimana kondisi sosial masyarakat memiliki frekuensi yang sama untuk menjalankan program secara berkelanjutan.

Targetkan 50.000 Bibit Mangrove dan Pemberdayaan Perempuan

Sementara untuk menjalankan program mulai dari Agustus tahun lalu hingga Agustus tahun ini, CARE menargetkan penanaman 50.000 bibit bakau. Setelah periode tersebut, akan dilakukan asesmen lanjutan bersama kelompok ekonomi perempuan yang didampingi oleh Yayasan Ekologi. Tujuannya, adalah menilai apa yang perlu ditambahkan, usaha apa yang sudah tumbuh, dan sejauh mana usaha-usaha tersebut berkembang menjadi lebih kuat dan mandiri.

Abdul menjelaskan bahwa motivasi CARE dalam mendukung pelestarian mangrove dilandasi oleh tiga visi besar: pengentasan kemiskinan ekstrem, keadilan gender, dan perlindungan lingkungan serta iklim. Oleh karena kawasan mangrove dianggap sebagai ikon pariwisata yang penting bagi Sumatera,CARE Peduli memilih  Bintan.. “Ekonomi pariwisata akan tumbuh jika alamnya terjaga, dan ekosistem mangrove menjadi elemen penting dalam mendukungnya,” ujar  Abdul.

Perempuan di Garis Depan Perubahan

Menurut Abdul, kelompok perempuan seringkali menjadi pihak yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim.Namun sering diabaikan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena beban perempuan lebih berat saat lingkungan rusak dibandingkan laki-laki, CARE mengajak untuk pemberdayaan perempuan menjaga lingkungan.

Sedangkan CARE juga tengah menguji konsep bahwa perlindungan lingkungan tidak perlu dipisahkan dari pembangunan ekonomi dan keadilan gender, sehingga semuanya  bisa berjalan secara bersamaan dan saling mendukung. “Kami ingin membuktikan bahwa pariwisata berkelanjutan dapat dikembangkan dengan melibatkan perempuan dan pelestarian lingkungan secara aktif,” tuturnya.

Perubahan Signifikan di Desa Berakit

Setelah program CARE berjalan, banyak perubahan yang terlihat. Pendekatan yang awalnya bergantung pada insentif finansial untuk menanam mangrove kini mulai berkembang. Warga mulai menanam karena kesadaran, bukan hanya karena ketidakseimbangan. Perempuan juga semakin mampu menyuarakan pendapat, menunjukkan kepemimpinan, dan mengembangkan keterampilan. Pemangku kepentingan di desa pun mendukung perubahan ini.

Namun, Abdul mengakui bahwa menjalankan program semacam ini membutuhkan waktu dan kesabaran. Diperlukan peningkatan kapasitas, keterampilan, dan perubahan sikap yang harus diuji oleh waktu.

Pelestarian Lingkungan dan Ekonomi Bisa Berjalan Bersama

Dalam melaksanakan pembangunan harus lah sinergis dan harmonis antara elemen yang satu dengan elemen yang lainnya. Demikian juga alam dan mahluk hidup di sekitarnya.

Untuk itu menurut Abdul, bahwa dalam menjalankan program hubungan antara pelestarian lingkungan, pemberdayaan ekonomi, dan pemberdayaan perempuan merupakan nilai yang saling mengikat. CARE tidak ingin hanya mengandalkan pendekatan berbasis insentif finansial seperti yang dilakukan oleh beberapa program pemerintah. CARE lebih memilih untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, memberikan dukungan modal (modal), dan memanfaatkan jasa ekosistem mangrove untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.

Strategi utama CARE adalah membangun kesadaran perempuan bahwa mereka adalah subjek perubahan, setara dengan laki-laki. CARE juga memberikan pelatihan keterampilan teknis seperti pembibitan dan penanaman mangrove, serta pelatihan non-teknis seperti kepemimpinan, pengelolaan keuangan, pengembangan produk, dan akses ke pasar serta pembiayaan.

Ekonomi Desa Tumbuh, Lingkungan Terlindungi

Menurut  Abdul, manfaat mangrove tidak hanya dirasakan dari sisi ekologi, seperti perlindungan dari abrasi, tetapi juga dari sisi ekonomi. Upaya restorasi mangrove juga telah membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat Desa Berakit, khususnya perempuan.

CARE juga mendorong pemerintah daerah di Bintan untuk mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam rencana pembangunan daerah.

Belum Berbanding Lurus

Ketua Kelompok sadar Wisata (Pokdarwis) Pengudang Mangrove di Kabupaten Bintan. Iwan Winarto, yang sudah 8 tahun aktif untuk mangrove mengatakan, posisi Bintan yang sudah menjadi resort internasional selama 20 tahun tidak berdampak kepada masyarakat. Keberadaan resort belum berbanding lurus dengan keadaan masyarakat tempatan.

Sementara Bintan dikenal dengan menjual pesona indah alam Bintan dan perairannya, seperti bentang pantai yang indah,mangrove, terumbu karang dan padang lamun.

Ia mengapresiasi program berkelanjutan yang berpihak kepada masyarakat sekitar.

Sedangkan Pokdarwis sendiri  juga aktif dalam menjaga lingkungan bakau, telah dilakukan edukasi konservasi mangrove untuk Bintan dan kearifan lokalnya. Selama ini salah satu yang telah dijalankan juga ekowisata mangrove sebagai bagian dari nilai jual wisata.

Tidak hanya menjalankan tour mangrove, tetapi juga merawat dan menjaga alam semamampunya. Seperti bersih bersih pantai, bakau dan transplantais karang  khususnya melibatkan kaum perempuan. Pembibitan memanfaatkan waktu senggang telah melibatkan perempuan. Hasilnya sudah menjadi nilai tambah bagi perempuan pesisir.”Terus terang, program jika tidak ada efek ekonomi bagi masyarakat akan menjadi no sense,” ujarnya.

Iwan mengatakan equality gender itu harus di perhatikan. Dari sisi kritis, perempuan lebih jauh peduli terhadap lingkungan.Untuk itu, menurut Iwan,eeukasi informasi mangrove yang baik adalah perempuan. “Perempuan informasi terpenting di dalam keluarga,” tukasnya.

“Hanya saja, pemerintah masih belum memberikan prioritas pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat pesisir,”imbuhnya.

Perempuan Jadi Kunci Pelestarian Mangrove 

Kepala Bidang Kelautan, Konservasi, dan Pengawasan Kelautan Provinsi Kepulauan Riau, Raja Taufik, S.Pi., MH, menyatakan bahwa keterlibatan perempuan menjadi kunci penting dalam upaya pelestarian mangrove. Peran perempuan sangat strategis karena mereka berperan sebagai agen pendidikan, baik di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat.

Ia mengapresiasi keberadaan kelompok-kelompok perempuan yang aktif dalam pengelolaan mangrove. Pemerintah, lanjutnya, juga turut mendorong tumbuh kembangnya kelompok perempuan yang mengelola kawasan mangrove sebagai bagian dari kebijakan penetapan kawasan konservasi. Tujuannya tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan mangrove ini tumbuh secara alami dari masyarakat, dan semakin diperkuat dengan dukungan para aktivis.

Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), serta pelatihan yang difasilitasi para aktivis, dinilai penting untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam mendukung upaya konservasi.

“Pemerintah tentu mendukung segala kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama. Alhamdulillah, kami tidak sendiri.Kami bersyukur mendapat dukungan dari berbagai NGO,” ujar Taufik.

Konservasi Mangrove di Timur Pulau Bintan

Taufik menjelaskan lagi bahwa pemerintah telah menetapkan Taman Wisata Perairan di kawasan timur Pulau Bintan sebagai kawasan konservasi yang dikelola oleh Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP). Pada tahun pertama ditetapkannya, kawasan ini memperoleh etika penilaian sebagai langkah menuju kemandirian, dimulai dengan pembentukan kelembagaan.

Kini pengelolaan kawasan ini berada di bawah Subkoordinator Konservasi dan telah dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk mendukung pengelolaan mandiri.

Penetapan kawasan konservasi ini dilakukan  melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan  Nomor 18 Tahun 2022, dengan total luas mencapai 138.000 hektare untuk wilayah pesisir Pulau Bintan. Penetapan ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, terutama ibu rumah tangga yang selama ini menjadi pihak paling terdampak oleh kerusakan ekosistem akibat praktik seperti produksi arang dari kayu bakau.

"Lambat laun, mulai tumbuh kesadaran masyarakat untuk menanam mangrove dan menghentikan penebangan bakau. Untung cepat sadar, kalau tidak, mungkin sekarang kita sudah tidak bisa lagi menemukan ketam (kepiting bakau)," kata Taufik.

Tata Kelola Konservasi di Kepri

Sejak berlakunya perubahan dari UU No. 32 menjadi UU No. 23, kewenangan pengelolaan kawasan konservasi diberikan kembali kepada kabupaten dan kota. Di Provinsi Kepulauan Riau, terdapat dua juta hektar kawasan konservasi yang tersebar di Natuna, Bintan, Lingga, dan Batam. Sementara itu, satu kawasan lainnya seluas 1,2 juta hektar dikelola langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Total keseluruhan kawasan konservasi di Kepri mencapai sekitar 3 juta hektar,” ujar Taufik.

Desa Dukung Peran Aktif Perempuan

Sementara itu, Sekretaris Desa Berakit, Nasrullah yang akrab disapa Bang Zong menyatakan  pemerintah desa sangat mendukung keterlibatan aktif perempuan dalam pembangunan. Perempuan secara aktif diikutsertakan dalam rapat-rapat perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan desa. Pemerintah desa memandang perempuan sebagai peran yang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.

Nasrullah berharap, agar kegiatan kelompok ibu-ibu terus berkembang dan menjadi bagian dari rencana pembangunan jangka menengah dan panjang desa. Dengan demikian, program-program mereka dapat didukung melalui alokasi dana desa dan dituangkan secara resmi dalam APBDes. “Pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal pemberdayaan masyarakat,” tegasnya.

“Di Desa Berakit ini berbeda dengan desa lain. Banyak perempuan di sini yang menjadi nelayan dan petani. Ini karena banyak warga berasal dari komunitas Suku Laut, yang dulunya tinggal di perahu (sampan), dan kini sebagian besar perempuan berprofesi sebagai nelayan rumah tangga,” lanjutnya.

Pokmaswas Srikandi Libatkan Perempuan

Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi Desa Berakit, Abdul Malik, menyebut bahwa kelompoknya juga telah melibatkan perempuan dalam kegiatan konservasi. Dari 15 anggota Pokmaswas, dua di antaranya adalah perempuan.

“Awal bulan ini kami telah memulai pembibitan 50 ribu bibit mangrove bersama kelompok lain. Selanjutnya akan dilakukan penanaman dan penyediaan lahan secara bersama-sama,” ujarnya.****

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco