Eco

Hilangnya “Rumah Pelanduk” Hutan Alam Pesisir (Bagian:2)

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2022-06-01 03:02:14 WIB
Pelanduk napu yang kerap kali muncul ke pesisir hutan bakau, Desa Dedap, Kabupaten Meranti.(FOTO/SRc/imelda)

SuaraRiau.co -DESA DEDAP, MERANTI-Masifnya penghancuran hutan alam Riau hampir tak menyisakan tempat bagi ruang hidup satwa liar. Dampaknya tak hanya melenyapkan ruang hidup satwa kunci tetapi juga satwa-satwa pelanduk yang selama ini tak masuk dalam prioritas konservasi.

Laporan Investigatif Eyes on the Forest, September – Oktober 2009, mengungkap penghancuran besar-besaran hutan alam Riau. Koordinator Jikalahari, Made Ali, yang tergabung dalam tim investigasi, menjelaskan bagaimana hutan rawa gambut dirusak, dan ekonomi masyarakat Pulau Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti, Riau, jadi hancur. Itu semenjak berlangsung penebangan masif hutan alam oleh pengembang Hutan Tanam Industri yang terafiliasi dengan salah satu perusahaan kayu terbesar di Asia di tahun 2009.

Berlanjut lagi, perusahaan tersebut di Provinsi Riau mendapatkan izin penebangan hutan alam atau Rencana Kerja Tahunan (RKT) seluas 2.832 hektar. Target tebangan kayunya mencapai 262.837 meter kubik kayu alam.

Dalam investigasi, Jikalahari mendapati ternyata izin untuk pembukaan hutan alammencapai lebih dari 10.000 hektar. Selain itu, kawasan Meranti juga ada eks HPH sebuah anak perusahaan kayu besar yang berkantor di Pekanbaru dan merupakan anak perusahaan yang sama. Dan masuknya salah satu  pertambangan minyak dan gas bumi.

                                             

                                            Made Ali (FOTO/File)

Dampak era industri ini memberikan perubahan lingkungan secara drastis bagai kehidupan ekosistem hutan dan lingkungan sekitarnya. Sejak 2020, hutan alam yang tersisa hanya sekitar 591.623 hektare. Itu berarti, total luas deforestasi yang terjadi sejak 2000 telah mencapai 1,14 juta hektare. 

Keberadaan konsesi HTI dan HGU pada Kabupaten Siak, Pelalawan, Bengkalis dan Meranti mencapai 172 konsesi. Total luas konsesi tersebut mencakup 58 persen dari total luasempat kabupaten tersebut yang totalnya hampir 2 juta hektar.

Kehilangan hutan alam ini ujar Made juga karena berdirinya pertambangan minyak yang dikelola asing yakni Chevron yang berubah nama menjadi Pertamina Rokan Hulu yang lokasinya ada di  kabupaten yakni Siak, Meranti, Rohil, Bengkalis, Kampar dan Dumai). Kemudian Pertamina BOB, Pertamina PHE Siak, Pertamina PHE Kampar dan EMP

Malacca Starit yang kini Bernama Emp Bentu tbk. Penggalian sumur minyak baik lepas pantai dan darat ini pastilah menebang pohon hutan untuk mengambil areal sumur minyak.

Sementara tak kalah hebatnya, keberadaan pertambangan minyak, menurut Melia, warga Desa Bunsur, Siak yang desanya berseberangan dengan wilayah perairan Meranti, masuknya pertambangan minyak lepas pantai di Meranti secara langsung juga menambah dampak lingkungan.Perusahaan tersebut beroperasi sejak tahun 2017 dengan jumlah produksi minyak mentah dari sumur minyak TB 1 di lokasi tersebut sebesar 490 barrel per hari.

Dengan luasnya kehancuran hutan alam tersebut, ungkap Made lagi, inklusi air laut yang mematikan kebun-kebun warga. Yang tak kalah penting, telah berdampak melenyapkan biodiversitas di sana. Populasi pelanduk yang menyusut. Satwa liar kehilangan rumahnya karena alih fungsi besar-besaran hutan alam. Habitat pelanduk dan beragam satwa liar itu dibabat untuk kebutuhan tanaman industri dan perkebunan.

Menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Meranti, luas wilayah dulunya lebih dari 84.000 hektar. Khusus di Desa Dedap, hutan alamnya tinggal sekitar 4.000 hektar lagi. ”Sisa hutan alamnya diperkirakan untuk wilayah Dedap ini saja sekitar lebih kurang 4.000 hektar lagi,” ujar Mansur.

Wilayah pesisir Meranti ada beberapa Desa di sekitar Dedap seperti Desa Kudap, Bandul.  Selat Akar,  Mangkopol,  Tanjung Pisang, dan Mengkilau. Ada lagi Desa Delima, Tanjung Puyuh, dan Tanjung Padang. ”Semua hutannya sudah habis, sejak HTI dan sawit masuk,” jelasnya.

Warga Desa Dedap, Imah, mengatakan jika dulu masih mudah mendapatkan pelanduk di sekitar rumah, kini sebaliknya. “Jangankan pelanduk, burung-burung saja tidak ada lagi. Sulit ditemukan. Yang masih banyak seperti monyet dan lutung itulah,” ujarnya.

Kepala Desa Dedap, Mansur menambahkan, intensitas berburu semakin berkurang. Itu terjadi bukan karena adanya larangan berburu melainkan karena binatang buruannya semakin langka. Pelanduk masih saja dicari-cari sebagai santapan. Kalau sudah begitu, sulit melarang masuknya pemburu ke hutan. “Bagaimana kita bisa pastikan mereka tidak masuk kedalam hutan dan mencari apa,” ujarnya. “Mau kemana kau,’ jika saya tanya. Ke hutan jawabnya. Paling kita hanye bise bilang baik-baik di dalam,” ujarnya dengan logat Melayu.

                                                                   

                                                  Kades Dersa Dedap, Meranti Mansur.(FOTO/SR/Imelda)

Mansur berharap pihak BKSDA dan kehutanan memberikan penyuluhan untuk alternatif peningkatan ekonomi masyarakat agar tidak berburu dan menebang hutan. Namun, hingga kini belum satu pun petugas datang. Hanya pernah dari pihak perkebunan merencanakan potensi penanaman kelapa. ”Namun perencanaan itu batal, meski lahan sudah disiapkan warga,” jelasnya.

Desa itu memiliki pula potensi wisata yang disebut Tasik Putri Puyu, dengan jarak tempuh melalui sungai ataupun jalan kaki. Hampir 9 km menuju kawasan tersebut.

Dipaparkan Mansur, Tasik Putri Puyu termasuk legenda dan cukup mistis dan luas. Masih banyak pohon kayu alami yang kayu besar. Terdapat hewan seperti pelanduk, kera-kera dan, ikan di tasik tersebut. Isinya didominasi ikan lompong dan toman. Banyak warga yanghobi mancing dan berbur ke tasik tersebut. Sedangkan untuk mengelola alamnya belum ada secara khusus. “Dan kami mengharapkan tasik tersebut bisa dikelola secara khusus,”jelasnya.

Ia ungkapkan lagi, kawasan hutan Putri Puyu pernah kebakaran di tahun 2013. Bersama warga ia berusaha menyelamatkan kawasan 10 hektar hutan tasik tersebut. “Kami tidak tahu apa penyebab kebakaran tersebut. Kami sudah mencoba menanam areal yang terbakarseperti pohon kelapa dan pohon lainnya,”paparnya.

                                  

                                 Sisa hutan di Pulau Legendaris Pulau Dedap "Durhake", Meranti,Riau

Selain tasik paparnya lagi, Desa Dedap memiliki potensi madu hutan yang dikenal dengan madu sialang. Saat musim sialang madu hutan itu bisa menghasilkan ratusan kilo.

Saat suarariau.co ke Desa Dedap sedang musim panen madu sialang. Tetapi sayangnya penjualannya sulit. Saat itu, ada sekitar 300 kg madu yang belum bisa dipasarkan. “Padahal madu asli tersebut sulit di dapat,” katanya.****

*Tulisan ini adalah tulisan kedua dari rangkaian Liputan Khusus Hewan Mamalia Yang Dilindungi Kisah Pelanduk (Tragulus Napu)“Dilindungi” dan Disantap

Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerja sama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN)

 

 

Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco