Eco

Tak Sekadar di Atas Kertas, Perlindungan Pelanduk Menanti Komitmen (Bagian:3-selesai)

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2022-06-01 07:59:54 WIB
Pelanduk hasil buruan warga di Desa Dedap.Sebagian besar hasil buruan pelanduk tidak dapat bertahan hidup lama ketika ditangkap.Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan masyarakat bagaimana memelihara pelanduk.(FOTO/SRc/Saddam)

SuaraRiau.co -PEKANBARU-Di tengah ancaman besar akan kepunahan, upaya konservasi bagi pelanduk (Tragulus napu) sangat dinanti. Butuh komitmen pemerintah tak sekadar menyematkan status “dilindungi”. Lebih dari itu, perlu strategi konservasi dan upaya serius bagi masa depan kelestariannya.

Meskipun gemar berburu, warga Desa Dedap, Darmadi pernah terpikir untuk menangkarkan pelanduk. Hasil tangkapan dari hutan dibawanya ke rumah. Lalu, pelanduk dikandangkan. Diberi makan setiap hari. Rupanya, pelanduk tak bertahan hidup. Beberapa hari kemudian langsung mati.

Pengalaman serupa dilakoni Jefriden (52), warga Desa Bunsur, Kabupaten Siak. Ia pernah memelihara pelanduk hingga 5 tahun lamanya. Berhasil. Bahkan di antara hasil peliharaannya itu, pernah ada yang sampai bunting, kemudian beranak 1 ekor. Anaknya juga hidup selama 2 tahun. Selama masa itu, ia berikan makan semangka, timun, asam kandis, bayam dan daun-daunan lainnya yang ada di hutan.

        

                                                                 Pulau Dedap.(FOTO/SRc/Imelda V)

Peneliti Biologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Ibnu Maryanto mengatakan pelanduk dapat ditangkarkan. Hanya saja, penerapannya belum mendapatkan dukungan dari BKSDA selaku instansi yang menaungi. Sejauh ini, BKSDA baru sebatas memberi izin usaha penangkaran. Belum ada pembinaan bagi calon penangkar pelanduk.

Untuk menangkarkan pelanduk, perlu dipahami kebutuhannya. Pelanduk makan buah-buahan dan dedaunan. Dalam Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan yang terbit, Agustus 2009, Abdul Latif menyebutkan pelanduk merupakan ungulata primitif  yang hidup liar di hutan Sumatera dan Kalimantan. Spesies itu disebut terancam punah tetapi data mengenai polupasi pelanduk belum ada.

Pelanduk mudah dijinakkan sehingga sangat memungkinkan untuk perbanyakannya, seperti halnya kambing dan domba. Penelitian dosen Universitas Peternakan Jambi itu memberikan bagaimana penyediaan makananan protein yang baik bagi pelanduk ketika ditangkarkan.

Untuk itu  perlu pengetahui tentang zat makanan dan status nutrisi yang mutlak diperlukan. Sebab hal itu sangat berpangaruh terhadap performan dan produksinya. Hal penting yang perlu diketahui adalah protein yang dibutuhkan pelanduk. Pelanduk memerlukan 8,1 persen protein dalam makanan dan untuk pertumbuhan dibutuhkan 20.40 persen protein pada makanan.

Karena terbiasa menjelajah dalam hutan, pelanduk juga memerlukan ruang hidup yang luas jika ditangkarkan. Pelanduk yang beratnya sekitar 3,2kg, dapat menempati ruang setidaknya 4x3 meter, dilengkapi minuman, makanan, dan tempat penampung feses dan urine.

Mengutip penelitian  yang dilakukan Najamudin dari Program Pasca Sarjana IPB Bogor 2010, untuk   mendukung   usaha   pelestarian pelanduk, diperlukan kemampuan  dan  keberhasilan  dalam  perkembangbiakan.  Akan  tetapi   hingga  saat ini  pengetahuan  tentang  pola  fisiologi  reproduksi  kancil  belum  banyak  diketahui. Hal ini sama seperti yang diungkapkan Prof Ibnu Maryanto, Najamudin juga menekankan penelitian tentang karekteristik  berpasangan hewan ini lebih mendalam.

Diperlukan pula informasi lebih lanjut tentang karakteristiknya. Pelanduk tergolong  satwa yang mudah stres  akibat perubahan lingkungan. Tetapi stres hanya bersifat akut artinya terjadi saat pertama kali  ditempatkan  dalam  kandang.

Dalam  Najamudin, spesies ini bertahan  hidup  sampai dua tahun,  nyaman  di  penangkaran. Hal  ini  dapat  dilihat  dari  kemampuannya  didalam memanfaatkan  jenis  bahan  yang  tersedia  pada  lingkungan ex  situ  seperti  umbi-umbian  (wortel,  ubi  jalar)  dan  sayuran  (kangkung,  kacang  panjang,  dan timun).

Kepala Sub Bagian Data Evaluasi, Pelaporan dan Kehumasan BKSDA Riau, Dian Indriati, SH mengatakan kurangnya SDM  dan banyak konflik yang harus dihadapi menyebabkan masih banyak populasi hewan mamalia seperti pelanduk yang belum terinventarisir.

                                                   

Kepala Sub Bagian Data, Evaluasi, Pelaporan dan Kehumasan BKSDA Riau,Dian Indriati.(FOTO/File)

Khusus pelanduk, ujar Dian, BKSDA hanya pernah mencatat melepaskan satu ekor pelanduk di tahun 2021 ke Taman Wisata Alam Muka Kuning di Batam.”Pelanduk tersebut diserahkan warga,” ujarnya.

Sejauh ini, penangkaran pelanduk belum pernah dilakukan. Baru ada penangkaran untuk buaya di Bintan dan penangkaran rusa di Bengkalis. Jika masih ada warga yang memiliki dan menyerahkannya, BKSDA akan menerima dan melepasliarkannya ke habitat aslinya.

Menurut Gunawan, Pelaksana Tugas Seksi Konservasi Wilayah IV Balai Besar KSDA Riau IV  Riau, pemerintah sebenarnya mendorong warga baik secara pribadi dan perusahaan untuk mendapatkan izin menangkaran dengan mekanisme aturan pemerintah. Ia setuju, jika potensi penangkaran pelanduk bagi warga dijadikan nilai untuk meningkatkan ekonomi. Jika ada masyarakat yang berniat untuk menangkarkannya, pemerintah akan mengakomodasikan. ”Namun di Riau belum ada. Sementara skala nasional juga belum ada,” jelasnya. Sedangkan untuk memiliki izin penangkaran harus sesuai aturan.

Terkait satwa yang berada pada unit penangkaran, papar Gunawan maka ketentuannya berdasarkan  Permenhut Nomor P.19 tahun 2005, khususnya paragraf 2 mengenai pengadaan dan legalitas asl induk.Dalam hal ini jelas Gunawan lagi perlu memahami dahulu makna penangkaran, yakni unit usaha yang hasilnya untuk diperjualbelikan atau untuk dijadikan objek yang dapat menghasilkan keuntungan secara komersial dari hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya. Spesimen hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan berikutnya diperlakukan sebagai spesimen yang tidak dilindungi setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.19 tahun 2005.

Permenhut ini menjelaskan defenisi penangkaran, tujuannya, ruang lingkupnya,pengadaan induk dan legalistas asal induk satwa untuk keperluan penangkaran, dapat diperoleh dari penangkapan satwa dari alam dan sumber-sumber lain yang sah meliputi : hasil penangkaran, luar negeri, rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan dan lembaga konservasi.

Selain itu Permenhut juga mengatur pelaksanaan penangkaran dan penandaan dan sertifikasi.

Pemegang izin penangkaran berkewajiban melakukan Penandaan Spesimen Hasil Penangkaran, yang dilakukan dengan tanda yang bersifat permanen, baik dalam bentuk tag/cap/transponder/tatoo/label/pemotongan  bagian  tubuh  lainnya. Hal ini bertujuan membedakan antara sesama indukan, indukan dengan anakan, anakan dengan anakan lainnya, atau antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen hasil penangkapan dari alam.

Kewajiban memberikan  penandaan untuk membedakan spesimen hasil penangkapan dari habitat alam atau hasil pengembangbiakan generasi pertama (F1) atau hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan seterusnya.

Sementara pada pasal 11, disebutkan satwa yang berasal dari hasil rampasan, penyerahan masyarakat atau temuan, sepanjang tidak dapat diketahui asal-usul atau status keturunannya dianggap sebagai spesimen hasil tangkapan dari alam (W). Sedangkan pemanfataannya sebagai induk harus izin Menteri.

Kemudian pasal 13, menyebutkan bahwa indukan pengembangbiakan satwa liar yang dilindungi yang berasal dari habitat alam (W) dinyatakan sebagai milik Negara dan merupakan titipan Negara. Demikian juga indukan pengembangbiakan satwa liar generasi pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi. Kedua indukan ini tidak dapat diperjualbelikan dan wajib diserahkan kepada Negara.

Selain itu diperlukan tracking asal usul agar mudah menelusuri specimen hasil penangkaran, maka penandaan dilengkapi dengan sertifikasi, yang berisi kode tanda, nama jenis, jenis  kelamin (apabila diketahui), kode tanda dari induknya, tanggal   dilahirkan/menetas/dibiakkan, tingkat generasi, nama/kode penangkar.

“Dari hal tersebut siapa saja yang memiliki, memelihara, menyimpan, mengangkut, memperniagakan, spesimen satwa dilindungi yang dianggap sebagai hasil tangkapan dari habitat alam (W/F0) tanpa izin Menteri dianggap sebagai pelanggaran tindak pidana.  Hal itu diatur pada  pasal 40 dan pasall 21 UU Nomor 5 Tahun 1990,” ujarnya. Ia menambahkan lagi, khusus soal penangkapan pemburu hewan liar ada di pihak penegakan hukum dan lingkungan hidup dan kehutanan bekerjasama dengan kepolisian.

BKSDA hanya membantu untuk mengindentifikasinya saja. Sementara catatan penangkapan pelanduk di BKSDA Riau belum ada. Demikian juga data populasi hewan non ikonik ini.

“Hanya saja berupa penggambaran sederhananya, BKSDA mengetahui penyebaran pelanduk,” ujarnya. Ia berharap, pemerintah desa melaksanakan sosialisasi ke masyarakat. Sehingga pelanduk tak lagi menjadi target buruan melainkan dapat ditangkarkan. Sehingga, masa depannya tak sekelam jaring penjerat. ****

Halaman :
Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco