ASIA

Laporan EJF Ungkap Penangkapan Ikan Tiongkok Marak Pelanggaran HAM

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2022-04-05 22:51:59 WIB
Screenshoot tayangan video investigasi dari EJF.

SuaraRiau.co -Kapal ikan jarak jauh (distant water fishing fleet) milik Tiongkok  saat ini terbesar di dunia marak dengan pelanggaran HAM dan praktik penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), serta menyasar biota laut yang terancam punah dan dilindungi di seluruh lautan dunia, terungkap dalam laporan EJF teranyar.

Banalisis paling komprehensif terkini mengenai kapal ikan, EJF menunjukkan bahwa subsidi negara Tiongkok telah memungkinkan armada kapal yang terlampau melebihi kapasitas untuk mengeksploitasi perairan negara-negara berkembang yang bergantung pada sumber daya laut untuk mata pencaharian dan ketahanan pangannya. Demikian disampaikan rilis Enviromental Justice Foundation (EJF) yang sampai ke meja redaksi suarariau.co, Selasa (5/4/2022).

Screeshoot tayangan Video EJF penangkapan ikan di laut  lepas.

 Kapal ikan jarak jauh Tiongkok yang beroperasi di seluruh dunia memiliki konsekuensi yang berdampak pada hampir setiap Negara. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam laporan  International Justice Foundation (IJF)  yang  mengacu pada data dari pemerintah Tiongkok bersama dengan rekam jejak penangkapan ikan secara ilegal dan kesaksian dari anak buah kapal (ABK).

Penangkapan ikan secara ilegal

Temuan EJF menunjukkan bahwa penangkapan ikan secara ilegal marak dilakukan oleh kapal-kapal ikan jarak jauh tersebut. Kesaksian lebih dari seratus ABK dari 88 kapal menunjukkan bahwa 95% ABK melaporkan telah melihat berbagai bentuk kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.

Hampir seluruh ABK yang diwawancarai mengatakan bahwa kapal mereka melakukan pemotongan sirip hiu secara ilegal, proses yang kejam dan sia-sia di mana sirip hiu yang bernilai dipotong, dan ikan hiu dibuang ke laut hingga mati. Rekaman ponsel yang diperoleh EJF juga menunjukkan anjing laut yang dipukuli hingga mati dan dipenggal, dengan lebih dari sepertiga narasumber melaporkan bahwa spesies dilindungi seperti penyu dan anjing laut ditangkap dan dibunuh di atas kapal. Sekitar seperlima ABK juga mengatakan bahwa lumba- lumba sering dibantai untuk umpan ikan hiu.

“Tidak masalah mau ikan hiunya besar atau kecil, bahkan bayi dalam perut ikan hiu juga kami ambil. Saya rasa kapalnya bisa disebut ‘kapal setan’ karena semuanya diambil,” kata salah satu ABK.

Pelanggaran HAM

Praktik-praktik yang merusak ini dimungkinkan terjadi tidak hanya oleh subsidi negara yang membahayakan — sebesar kira-kira 1,8 miliar USD — namun juga oleh pelanggaran HAM jam kerja yang melelahkan, air dan makanan yang tidak memadai, serta kerja paksa di tangan kapten dan ABK senior dari Tiongkok.

Pengakuan dan rekaman yang EJF telah terima mengungkapkan bagaimana ABK Indonesia dipukul dengan pipa besi dan diancam dengan pisau oleh ABK senior Tiongkok. Secara keseluruhan, 58% ABK yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan atau mengalami kekerasan fisik dan 85% melaporkan kondisi kerja dan kehidupan yang

kejam. “Saya dipegangi dan dipukuli. Mereka memukuli seluruh bagian tubuh saya,” ucap salah satu orang Indonesia. Terlebih lagi, hampir semua ABK (97%) yang diwawancarai berkata bahwa mereka telah mengalami berbagai bentuk jeratan utang dan penyitaan dokumen seperti paspor.

Korporasi tak transparan

Selain kejahatan yang dilakukan di laut, laporan tersebut juga memeriksa perusahaan- perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran ini — memetakan struktur korporasi yang kompleks dari armada kapal tersebut. Di Ghana, contohnya, setidaknya 90% kapal trawl industri di negara tersebut diduga dimiliki oleh perusahaan Tiongkok yang menggunakan perusahaan-perusahaan lokal sebagai ‘tameng’ (front companies) agar terdaftar sebagai kapal Ghana dan sebagai bentuk pengelakan hukum. Banyak dari kapal-kapal tersebut telah berulang kali berkaitan dengan perikanan tangkap ilegal.

Di mana ikan-ikan yang ditangkap oleh kapal-kapal tersebut berakhir juga tidak jelas, sehingga sulit bahkan tidak mungkin untuk melacak rantai pasoknya. Namun, yang diketahui adalah bahwa sejumlah kapal ikan jarak jauh Tiongkok memiliki izin untuk ekspor ke Eropa, dan Tiongkok merupakan mitra dagang Amerika Serikat terbesar dalam makanan laut.

Eksploitasi perairan negara-negara berkembang

Laporan menunjukkan bahwa kehadiran kapal-kapal Tiongkok menjadi penting di banyak negara-negara berkembang dan wilayah-wilayah yang memiliki kapasitas terbatas dalam pengawasan kapal ikan, namun sangat bergantung pada perikanan untuk ketahanan pangan dan mata pencaharian lokal.

Afrika paling menonjol, menyumbang 78.5% dalam proyek-proyek perikanan lepas pantai yang disetujui oleh pemerintah Tiongkok. Di Afrika Barat, wilayah yang terkenal akan maraknya penangkapan ikan secara ilegal, kapal Tiongkok dengan pukat hela dasar (bottom trawl) menangkap sekitar 2,35 juta ton makanan laut tiap tahunnya, berdasarkan perkiraan, sekitar separuh dari total tangkapan perikanan jarak jauh milik Tiongkok yang bernilai lebih dari 5 miliar USD. Banyak populasi ikan di Afrika dieksploitasi besar-besaran, sampai ke titik yang memungkinkan untuk kolaps, yang akan menimbulkan bencana bagi masyarakat pesisir miskin.

Steve Trent, CEO dan pendiri Environmental Justice Foundation, mengatakan :“Kapal-kapal bersubsidi tersebut merusak lautan, melakukan pelanggaran HAM, dan mendorong ketidakadilan lingkungan, dengan bersembunyi di balik tirai struktur korporasi yang kompleks, mencegah pihak-pihak tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya.

Temuan-temuan ini menyoroti kegagalan mendasar pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan dan mengatur kapal-kapal ikan jarak jauh secara efektif, namun juga mengungkapkan permasalahan internasional yang lebih luas: kurangnya transparansi lintas sektor yang mengejutkan. Seperti halnya Tiongkok dalam mengendalikan kapalnya, setiap negara yang mengimpor ikan-ikan yang ditangkap oleh kapal Tiongkok harus menuntut transparansi penuh di seluruh rantai pasok. Itulah satu-satunya cara agar kita yakin bahwa kita, sebagai konsumen, tidak berakhir memakan ikan yang ditangkap dari hasil perbudakan dan mendorong kehancuran laut kita," imbuhnya.***

 

Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : ASIA