Jakarta

Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Dihapus Jadi Tunggal,Lalu Iurannya?

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2022-01-29 07:20:25 WIB
BPJS menuju rawat inap KRIS. (int)

SuaraRiau.co -JAKARTA -  Raker Komisi IX DPR RI, beberapa waktu lalu mengatakan,saat ini Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah memiliki roadmap penerapan kelas kelas baru untuk BPJS Kesehatan. Untuk itu,pekan ini  akan ada kabar datang dari BPJS Kesehatan.Pemerintah akan menghapus kelas rawat inap peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.

Kelas yang saat ini ditetapkan 1, 2 dan 3 akan dihapus menjadi kelas tunggal. Adapun kelas tunggal ini disebut sebagai kelas standar atau kelas rawat inap standar (KRIS).

"KRIS JKN untuk memenuhi mutu standarisasi layanan dan prinsip ekuitas. Maksudnya, semua orang, peserta, berhak untuk mendapatkan layanan, baik medis dan non medis yang sama," kata Anggota DJSN Iene Muliati yang dikutipdari cnbcindonesia.com Sabtu (29/1/2022).

Menurutnya, DJSN sudah melakukan konsultasi publik dengan berbagai asosiasi kesehatan untuk perubahan kelas rawat inap JKN tersebut. Setelah melakukan konsultasi beberapa langkah akan mulai dilakukan di tahun ini.

Salah satunya adalah uji coba penerapan kelas standar di beberapa rumah sakit. Rumah Sakit yang dipilih adalah yang dinilai paling siap untuk menerapkan kelas tunggal tersebut.

"Akan dilihat nanti berdasarkan data di BPJS Kesehatan dan Kemenkes dan hasil self assessment, apakah pemilihan berdasarkan provinsi atau berdasarkan jumlah beberapa rumah sakit yang menurut kami sudah siap segera implementasikan KRIS JKN (kelas standar)," jelasnya.

Selain itu, DJSN akan menyiapkan infrastruktur di beberapa rumah sakit yang dinilai perlu melakukan penyesuaian. Sebelum nantinya pada 2023 mulai diimpelementasikan dan pada tahun 2024 semua Rumah Sakit sudah menerapkannya.

"Seperti yang disampaikan Menkes, di 2023 implementasi bertahap di mulai RSUD dan RS Swasta," pungkasnya.

Penghapusan kategori kelas ini sesuai dengan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) Pasal 23 (4). Terkait peserta yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka diberikan "kelas standar".

Perlu diingat, kelas BPJS Kesehatan yang dihapus itu hanya berlaku untuk rawat inap. Sementara rawat jalan normal seperti biasanya.

Ini dia rencana iurannya!

Tarif iuran belum disampaikan rinci. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, terkait iuran pihaknya akan melakukan koordinasi dulu dengan Kementerian Keuangan.

Namun, anggota Komisi IX DPR pernah mengusulkan agar besaran iuran BPJS Kesehatan, jika kelas standar diterapkan dengan nilai Rp 75.000. Karena berhitung berdasarkan aktuaria kelas 3 dan kelas 2.

Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menghimbau agar pemerintah dan otoritas dalam menerapkan tarif iuran BPJS Kesehatan kelas standar harus mempertimbangkan kondisi finansial warga. Termasuk daya beli peserta mandiri

Seperti diketahui, sejak Januari 2021 iuran BPJS Kesehatan Kelas III peserta PBPU telah mengalami kenaikan. Iuran yang berlaku saat ini adalah sebesar Rp 42.000 per bulan, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000 per anggota.

Sehingga peserta PBPU Kelas III BPJS Kesehatan harus membayar Rp 35.000 per bulan, naik Rp 9.500 dari sebelumnya hanya Rp 25.500 per bulan. Sementara untuk Kelas I Rp 150.000 per bulan dan Kelas II Rp 100.000 per bulan.

Adapun bila mengalami keterlambatan atau tunggakan pembayaran, maka akan ada denda yang dikenakan. Besaran denda diatur dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 di mana denda yang dibebankan sebesar 5% dari biaya diagnosa awal pelayanan kesehatan rawat inap dikalikan jumlah bulan tunggakan.

Pun jika dilihat dari jumlah kepesertaannya, berdasarkan data DJSN, Kelas III memiliki jumlah peserta yang tidak bisa dibilang sedikit, yakni sebanyak 23 juta orang atau tepatnya 23.126.007 peserta per Juni 2021.

Kesiapan Rumah Sakit

Mengtuip tempo.co, kebijakan KRIS ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari penerapan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) yang tertuang di Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Secara sederhana, KDK ini akan membuat pasien BPJS menerima layanan standar. Kalau mau layanan, maka harus ikut asuransi tambahan.

Dalam rapat di Komisi Kesehatan DPR pada 25 Januari 2022 lalu, anggota DJSN Iene Muliati mengatakan sudah menggelar lima konsultasi publik dengan pemerintah daerah, asosiasi fasilitas kesehatan, hingga masyarakat. Lalu, self assesment juga sudah dilakukan dengan 1.916 RS dan 144 RS TNI dan Polri.

Dari 144 RS TNI dan Polri yang ikut self assesment, kata Iene, sebanyak 74 persen siap ikut menjalankan KRIS ini. Meskipun, ada 74 persen yang masih butuh penyesuaian infrastruktur skala kecil, dan 26 skala sedang hingga besar.
Sementara dari 1.916 RS lain, sebanyak 80 persen sudah siap dengan KRIS. “Walau 78 persen perlu penyesuaian infrastruktur skala kecil,” ujarnya.
 

Regulasi Masih Disusun

Pemerintah punya waktu sampai akhir tahun 2022 untuk memulai kebijakan KRIS. Sebelum memulai KRIS, pemerintah akan melakukan finalisasi terlebih dahulu terhadap KDK yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang ditangani oleh Kementerian Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan KDK ini sudah dibahas sejak 2020 sampai sekarang. “Salah satunya perhitungan dampak biaya atas penyusunan manfaat JKN sesuai KDK,” kata dia.

Sementara itu KRIS, pihaknya yang menangani yaitu DJSN. Meski demikian, BPJS Kesehatan sudah ikut melakukan survei terhadap 2.740 responden. Hasilnya, Ali menyebut separuh dari responden mendukung standarisasi fasilitas dan pelayanan kesehatan sesuai prinsip KRIS.

“Oleh karena itu kami bisa simpulkan, implementasi KDK dan KRIS dilakukan secara bertahap mempertimbangkan kesiapan peserta dan fasilitas kesehatan,” kata dia.

Selain Perpres soal KDK, Kementerian Kesehatan pun juga sedang merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan. Ini berkaitan dengan asuransi tambahan atau selisih biaya yang harus dipakai pasien BPJS yang ingin naik kelas, akibat dampak KDK.

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, perubahan Permenkes soal mekanisme selisih dan urun biaya ini bertujuan untuk mengefisiensikan pembayaran iuran pasien BPJS Kesehatan. Lantaran selama ini terjadi duplikasi pembayaran iuran oleh peserta BPJS yang juga memiliki asuransi kesehatan tambahan (AKT) dari swasta.

"Kalau bisa porsinya BPJS di-cover BPJS, sisanya kalau mereka mau ambil kelas lebih baik otomatis di-cover asuransi swasta tanpa ada duplikasi biaya iuran,” kata dia.
Budi mencontohkan seorang pasien BPJS yang juga ikut asuransi swasta dan mau operasi usus buntu. BPJS hanya menanggung biaya operasi Rp 7,3 juta. Sementara, pasien tadi mau naik kelas VIP dan tagihannya menjadi dua kali lipat, Rp 14,59 juta.
Karena ada mekanisme urun biaya, maka asuransi swasta sebenarnya tak perlu lagi menanggung biaya operasi Rp 14,59 juta tersebut karena sudah ditanggung separuhnya oleh BPJS. Walhasil, Budi menyebut mekanisme ini seharusnya bisa membuat premi pasien tersebut di asuransi swasta turun.
Kalaupun preminya tetap dan mendapatkan biaya tanggungan operasi dari asuransi swasta 100 persen alias Rp 14,59 juta, maka pasien tadi seharusnya sudah bisa naik sampai ke kelas VVIP atau Super VIP. “Kombinasi benefit ini yang kami bikin aturannya, sehingga pengeluaran uang peserta jadi efisien,” kata dia.

Agar BPJS Tak Defisit

Budi juga menyebut kebijakan KRIS ini bertujuan untuk menjaga arus kas dana jaminan sosial yang dihimpun BPJS Kesehatan tetap positif. “Intinya kita tidak mau BPJS Kesehatan itu defisit, tapi kita harus pastikan BPJS itu tetap positif tapi mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar,” kata dia. ‘

Ali Ghufron melaporkan kalau tahun lalu keuangan BPJS sudah bisa surplus dari yang sebelumnya defisit. Ia membandingkan situasi dengan posisi Desember 2020, di mana saat itu arus kas positif. “Tapi kalau kewajibannya dijalankan, seperti utang-utang, dan sebagainya, jadi defisit," ujarnya.

Hingga Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial kesehatan mencapai Rp 39,45 triliun. Menurut Ghufron, aset ini berada dalam kategori sehat dan mampu memenuhi 4,83 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan atau ketentuan minimum yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015.
“Baru pertama kali dalam sejarah aset neto positif, jadi jangan sampai langsung defisit tahun depan,” kata Ghufron.
Maka untuk menjaga kondisi keuangan ini, Ghufron menyebut ada rencana penambahan benefit screening kesehatan dalam rangka pemataan pembiayaan di dalam KDK yang sedang disusun. Ke depan, kata dia, BPJS bisa menyesuaikan layanan konsultasi online untuk proses skrining bagi pasien dengan resiko berat. “Tapi bukan setiap penduduk di-skrining, kalau seperti itu bisa defisit lagi tahun depan, atau tahun ini,” ujarnya.
Jadwal Uji Coba Belum Final
Keseluruhan tahapan dan komponen menuju KRIS inilah yang sedang disiapkan oleh DJSN . DJSN sudah menyusun peta jalan KRIS dengan rincian sebagai berikut:

Tahun 2022:

-Penyiapan peraturan pelaksana dan uji publik
-Harmonisasi atau revisi peraturan pelaksana terkait
-Pemetaan dan uji coba KRIS JKN
-Penyiapan infrastruktur
-Sosialisasi, edukasi, dan advokasi
-Implementasi secara bertahap di RS vertikal
-Monitoring dan evaluasi terpadu

Tahun 2023:

-Implementasi secara bertahap RSUD dan RS Swasta berdasarkan kriteria KRIS JKN
-Penyiapan infrastruktur
-Sosialisasi, edukasi, advokasi, monitong, dan evaluasi terpadu


Tahun 2024:

-Implementasi di seluruh RS
-Monitoring dan evaluasi terpadu

Sesuai peta jalan yang sudah disiapkan, maka tahun ini adalah jadwal untuk implementasi KRIS secara bertahap di RS vertikal. “RS vertikal (itu) milik Kemenkes,” kata Muttaqien.

Menurut Muttaqien, perkara jadwal ini masih dibicarakan secara intensif dengan Kemenkes, dan akan menjadi kesepakatan bersama di pemerintah dan BPJS. Sehingga, sampai hari ini belum diketahui kapan implementasi tersebut akan berjalan. “Ini akan ditentukan lebih lanjut,” kata dia.
***

Halaman :
Penulis : Suarariau.co
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Jakarta