Eco

10 Tahun Gunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro,Dukung Ekonomi Warga Adat di Bukit Rimbang Baling (II)

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2021-10-28 18:55:39 WIB
Salah satu Air Terjun di Desa Terusan, Rimbang Baling.(SRc)

SuaraRiau.co -Masyarakat  Kenegerian Batu Songgan umumnya petani karet.Karet yang dihasilkan wilayah BRBB tidak sama dengan wilayah lainnya. Sebab, getah karet yang disadab, bukan dari pohon perkebunan karet. Namun bagian dari pohon karet alami. Demikian dikatakan Jefri, Kooordinator World Resource Institut Perwakilan di Riau di Kampar.

“Rumput dan pohon kecil semak di sekitar pohon karet mereka tidak boleh dibersihkan. Hal ini berbeda dengan kebun karet di belahan wilayah lainnya.Jika dibersihkan tanah akan longsor dan lahan itu termasuk lahan konservasi,”ungkapnya.

Saat ditemui suarariau.co di Gema, ia mengatakan, kehidupan warga di BRBB mayoritas menggantungkan hidupnya dengan menyadap karet.Keadaan masih terkatung-katungnya SK mengelola lahan hutan adat dari Menteri, menyebabkan kehidupan mereka berada diujung tanduk.

Sementara, butuh infrastruktur untuk menembus keterisoliran dan menggembangkan potensi ekonomi di sana. Namun kebutuhan infrastruktur di wilayah itu sulit diwujudkan.Karena  wilayahnya khusus dan butuh dana yang besar.

Digerakkannya EBT di BRBB sebagai solusi ketersediaan energi di Kenegerian Songgan, memberikan peluang bagi warga untuk keluar dari keterpurukan dari sekian banyak persoaalan yang ada.Ketersediaan EBT bisa membuat mereka meningkatkan aktivitas kearifan lokalnya.

Mendukung Kerajinan dan Ekowisata Warga

Kini dengan ketersediaan energi EBT, ekowisata khusus digalakkan. Sejak PLTMhnya lancar, warga merasa mendapatkan keyakinan untuk mengalakkan ekowisata khusus. Ditambah lagi, beberapa tahun belakang ini, PLTS juga ditambahkan dalam memberikan ketersediaan energi bagi desa-desa kawasan tersebut.Tak heran, sekarang orang mulai mengenal kampar Kiri Hulu. Melalui ekowisata yang dikelola Pokja Batu Belah di Songgan, banyak peneliti  dan pelancong yang datang merasa lebih nyaman.”Adanya EBT membuat mereka stay home beberapa hari di sana,”ujarnya.

Wisatawan menikmati jernihnya air Sungai Sebuayang di sekitar Desa Gajah Bertalut,Kenegerian Batu Songga,Kampar Kiri Hulu. (SRc) 

Kurnia sebagai salah satu Pengelola Pokja Batu Belah menjelaskan bahwa mereka memiliki pondok menginap bagi warga yang akan berkunjung. Pokja Batu Belah memiliki paket wisata tersendiri. Sekitar Rp350 ribu untuk satu malam, termasuk makan dan penginapannya.”Di perjalanan naik piaw, kita bisa berhenti dan makan di tepian sungai yang indah yang disediakan pengelola wisata desa tersebut,”jelasnya. “Kalian bisa menginap di rumah warga juga,”tambahnya.

Kurnia yang diakhir pekan menerima pekerjaan sebagai pemandu wisata ini mengatakan,  ia bisa menambah penghasilan dari ekowisata tersebut. “’Selain saya bangga desa saya terkenal, saya bisa menambah penghasilan dari hal ini,” katanya.

Disisi lain, ujar Jefri, untuk pemberdayaan masyarakat, ia melakukan pembinaan dan membantu warga dalam mencari solusi ekonomi.Untuk itu, tradisi lokal bisa dikembangkan.Salah satunya menganyam, yang merupakan suatu tradisi yang masih dipertahankan perempuan adat kekahlifahan Batu Songgan.

 Untuk itu, ide mewujudkan sentral tradisi menganyampun dibentuk di Gema.Sebagai wadah yang disebut “Kodai Umbai”. Ini sebagai pusat pelatihan,penjualan dan pendistribusian hasil karya kearifan lokal. Sejak enam berjalani, Kodai Umbai sudah berdiri dengan memberikan pelatihan kepada warga. Selain itu, penjualannya dan publikasinya dilakukan melalui media sosial. “Mudah-mudahan hal ini menambah semangat warga menggali potensi ekonominya,” ujarnya.

Jefri bersama warga salah satu warga Kenegerian Batu Songgan di Kodai Umbai.(SRc)

 

Sesuai  Adat Dalam Menjaga Alam

Menjaga keseimbangan alam juga menjadi konsep  masyarakat adat sejak dulu. Sebab,jika diketahui warganya menebang pohon sembarangan.Sanksi denda sesuai kesepakatan adat, akan berlaku bagi mereka yang melanggar.

Selain itu, masyarakatnya menuruti kesepakatan untuk tidak membersihkan pohon karet. Mereka juga memiliki aturan untuk lubuk larangan (warga tidak boleh memancing ikan di sungai dengan batasan tertentu,red) di wilayah mereka. Hal ini agar sungai tetap bersih dan tidak tercemar oleh para pemancing.

”Untuk itu,konsep EBT PLTMh sangat sesuai. Selain  EBT memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan warga, kenyataannya juga mendukung ekonomi warga adat..”ujar Datuk Kekhalifaan Batu Songgan tersebut.

Menurutnya,praktek pembalakkan bagi masyarakat  Batu Songgan tidak dibenarkan. Mekipun ada satu atau dua orang melakukannya. Meski praktek itu menjadi alternatif untuk dapur tetap berasap, namun mereka sadar akanpentingnya menjaga kelestarian hutan.

Untuk itu, ujarnya karena PLTMh tergantung dengan kesediaan air, maka warga takut untuk menebang hutan. Sebab, jika hutan resapan air tidak ada, maka listrik mereka bisa terancam.

Sedangkan menurut Suparmono, dengan wilayah Adat adalah milik persukuan dan dapat dikelola oleh masyarakat namun tidak boleh diperjualbelikan.

Masyarakat mengenal istilah Rimbo yang merupakan sebutan untuk hutan secara umum.Sedangkan Belukar adalah sebutan untuk wilayah bekas kebun yang sudah ditinggalkan.

Kawasan hutan adalah kawasan dengan kepemilikan komunal, sementara kawasan pemukiman dan perkebunan adalah kawasan dengan kepemilikan pribadi yang diturunkan berdasarkan keturunan. Sementara kawasan sungai juga adalah kawasan yang kepemilikannya berkelompok dan komunal, seperti inisiasi warga dan ninik mamak mereka untuk lubuk larangan."Hanya boleh dipanen ketika sudah waktunya. Jadi tidak boleh menangkap ikan seperti sehari-harinya," jelasnya.

Sekarang, lubuk larangan menjadi wisata tersendiri bagi wilayah tersebut yang banyak mendatangkan wisatawan saat pembukaan lubuk larangan larangan.

Potensi airnya yang melimpah di setiap sisi wilayah desa-desa adat Rimbang Baling selain untuk wisata, juga dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.(SRc)

Senada dengan Suparmono, manajer Perhutanan Sosial dan Transformasi Konflik dari WRI Rakhmat Hidayat  juga menyebutkan bahwa PLTMh justru membuat warga ikut menjaga alam atau kawasan hutan.  BRBB merupakan kawasan Suaka Marga Satwa yang sangat unik dan memiliki potensi yang kompleks dengan wilayah adat di dalamnya. “Wilayah ini banyak air terjun yang belum di tembus banyak orang.Untuk itu, PLTMh sangat cocok

Telah DibangunTonggak PLN

Untuk menaikkan rasio elektabilitas di pedesaan, pemerintah  mengupayakan rencana kelistrikan daerah yang tertuang dalam RUKD, yang digagas dari Kementerian ESDM. Gagasan ini sudah berjalan sejak dua tahun lalu. Termasuk di  SM BRBB,  tonggak listrik PLN sudah ada sejak akhir tahun 2019.Namun pembangunan tersebut  masih terkendala.

Ketika ditemui suariau.co di ruang kerjanya, pertengahan Oktober lalu,Kabid EBT ESDM Riau, Zukarnain, menyatakan  khususnya PLTMh di Riau, tidak dibangun lagi.

"Sebab 96 persen RE di di pedesaan Kampar sudah dialiri listrik.Termasuk di kawasan Rimbang Baling yang sudah ada tonggak listriknya. “Sehingga kini pemerintah belum ada rencana membangun PLTMh lagi,' katanya.

Rencana tahun ini hanya sebatas perhatian terhadap pemeliharaan PLTMh yang ada.

Sedangkan untuk EBT, selain PTMh, APBN juga memberikan anggaran sejak tahun 2020-2021 pembuatan untuk 11 titik lokasi yang ada di Kota Pekanbaru.Hal ini terlihat seperti  grafik.

Tahun ini juga, fokus pemerintah program EBT PLTS di daerah selanjutnya, adalah di wilayah Indargiri Hilir.Wilayah Inhil masih memiliki RE sebesar  94 %.Banyak desanya masih belum teraliri listrik dan sulit. Oleh karena itu, program EBT lebih layak dibangun di wilayah terisolir Inhil.Untuk itu,hingga akhir tahun ini ESDM akan membangun PLTS di wilayah tersebut.”ESDM disini hanya sebagai fasilitator untuk 11 titik  rooftoof PLTS yang dianggarkan APBN,” jelasnya.

Sedangkan untuk penggunaan EBT, khususnya untuk PLTMh jelas Zulkarnain sudah dilakukan ESDM Riau sejak tahun 1998 lalu.*

 

 

Solusi  Ekonomi Pedesaan Terpencil

Selama ini, fenomena  desa tetap miskin dan ditinggalkan generasi mudanya, karena desa tidak dibangun dengan cara yang tepat. Demikian dikatakan oleh pakar  wanita yang digelar Ibu Listrik mikro hydro bernama Tri Mumpuni. Ia menawarkan solusi, agar desa terpencil mandiri secara energi dengan melibatkan warganya.

Menurut Tri, pada umumnya desa di Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah.Namun belum sepenuhnya dikembangkan sebagai sumber energi.”Model PLTMh menarik untuk dikembangkan dalam membantu pemerintah mewujudkan energi bersih,” ujarnya.

Namun, selama ini pemerintah selalu hanya mengundang investor untuk menyediakan energi.Seharusnya, warga  dilibatkan dan harus memetik untung dari hadirnya teknologi.

Sedangkan menurut pemikirannya PLTMh  tidak bisa dibangun di semua tempat. Harus ada debit air dan ketinggian yang sesuai. “Untuk itu,kondisi wilayah Riau yang flat, menyebabkan butuh kajian khusus dalam mengembangkan PLTMh, di bagian lainnya,”imbuhnya.****(Habis)

Halaman :
Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco