Eco

10 Tahun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro,Dukung Ekonomi Warga Adat di Bukit Rimbang Baling (I)

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2021-10-27 22:03:47 WIB
Bedungan Batu Songgan, bendungan PLTMh yang sudah 10 tahun lebih dipakai warga setempat dan mendukung ekonomi mereka.(SRc)

SuaraRiau.co -Sudah 10 tahun praktik menggunakan  energi baru terbarukan (EBT) melingkupi wilayah  terpencil di kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SM BRBB).

Puluhan tahun hidup di tengah wilayah yang dillingkupi pepohonan, dan hanya dapat ditempuh dengan perahu kecil melalui jalur sungai, tergambarkan betapa lebih kerasnya kehidupan yang dihadapi warga di desa di sepanjang Sungai  Subayang BRBB.

Bagi Suparmanto (60) warga BRBB yang juga Datuk Kekhalifaan Batu Songgan kerasnya hidup dan terpencil, telah terobati dengan masuknya bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Air Mikro Hidro (PLTMh) sejak 10 tahun yang lalu. “Sejak itu kehidupan warga banyak yang berubah,” ujarnya

Kini, ujar Suparmanto, warga sudah banyak yang menggunakan peralatan rumah tangga dari listrik.Kulkas,rice cooker dan sterika. Jika dulunya warga tidak mengkonsumsi jajanan es, sekarang sudah ada yang memproduksinya.Demikian juga, warga sudah ada yang menyimpan cadangan makanan di kulkas. Malam hari tidak dilingkupi kegelapan yang pekat lagi.“Terlihat lampu-lampu yang hidup diantara balantara malam hutan BBRBB ini,” paparnya.

Awalnya, bagi Suparmanto mendapatkan impian listrik itu hanya seperti mimpi.Mengingat sudah puluhan tahun ia bersama orangtuanya hidup tanpa penerangan listrik.Pasalnya,membangun peralatan infrastruktur listrik kedalam sangatlah tidak mungkin. Karena transportasi yang dipakai hanya piaw (perahu kecil tanpa mesin,red)

Meski piaw sudah ada yang memakai mesin Johnson atau Robin. Namun, karena mesin tersebut mahal,sangat jarang yang  warga yang mampu memilikinya. “Bagaimana barang-barang logistik infrastruktur bisa diangkat,dengan piaw yang hanya maksimum bermuatan untuk 4 orang,” jelasnya.

Penerangan yang ada saat itu, ujar Suparmanto menggunakan obor damar dan lampu minyak. “Sempat juga lampu strongking (produksi lampu tempo dulu yang dikelilingi kaca yang menggunakan minyak tanah,red),”ujar mengingat.

Sampai saat ketika bantuan PLTMh dari pusat datang melalui pemerintah Kabupaten. Impian memiliki listrik terwujud. Perasaan ketika itu seperti kita merasakan mendapat kekasih baru. “Bagai mimpi,” ujarnya. Warga di sana senangnya luar biasa. Tidak bisa saya gambarkan perubahan betapa senangnya warga kami. Semangat sekali,” ujarnya.

Lampu Disko dan Ajang Berebut Signal

Mungkin bukan pertama kali kita bisa memasuki sebuah desa terpencil. Tetapi memang kawasan BRBB ini wilayah yang terisolir sekali. Meski kini ada PLTMh, listriknya masih tidak seperti PLN dan tidak ada sinyal HP. Pastinya, memasuki wilayah seperti ini tidak bisa bermain gawai dan Medsos, yang melanda gaya hidup masyarakat terkini.

Jika penggunaan listrik dari alam hal yang baru bagi kita yang sudah terbiasa menggunakan energi dari PLN. Tidaklah demikian bagi kawasan terisolir ini. Kawasan dengan sebutan Kekhalifaan Batu Songgan ini, letak geografisnya di jantung SM BRBB, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar,Riau. Letaknya yang di hulu dan jajaran bukit, kaya dengan sumber air.

Perasaan gamang, miris tiba-tiba memasuki jiwa saya, ketika HP saya tak bisa menerima sinyal lagi saat memasuki wilayah ini. Perasaan miris tiba-tiba menjadi lebih mencekam lagi, ketika memasuki sore hari. Suasana alam yang natural tampak diselimuti halimun.Jika di kota mematikan dan menghidupkan lampu tanpa dibatasi waktu, maka ketika PLN padam, kegelisahan akan menyelimuti hati warga kota, menanti PLN hidup kembali.

Berbeda dengan di warga di wilayah ini. Mereka sudah terbiasa dengan penggunaan energi yang kemampuan kapasitasnya kecil. Karena kemampuan EBT PLTMh yang digunakan maksimumnya, hanya berkisar 500 watt,.Hal ini menyebabkan penggunaan energi bagi warga setempat juga terbatas.

Untuk itu, menjelang malam, saat matahari mulai terbenam, masyarakat di desa ini kembali ke rumah mereka masing-masing. Masih ada warga yang menyediakan lampu tradisional dengan bahan bakar minyak tanah dan obor damar. Hal ini dibutuhkan untuk membantu penerangan ketika keluar malam. Sebab,jalanan di wilayah ini benar-benar jalan perkampungan dikelilingi hutan adat mereka.

Kabut menyelimuti alam Rimbang Baling ketika hari pagi dan ketika pergantian siang ke malam.Tampak anak-anak sekolah menunggu peraih berangkat ke sekolah.(SRc)

Sambil menunggu malam tiba,bunyi seperti letupan kecil dan keadaan berkedip terasa di sana.Sebagai tanda arus listrik yang tarik menarik.Akibat berganti malam,warga secara serentak saling menghidupkan lampu listrik. .

Hal ini biasa mereka hadapi. Dan hal itu bukan terjadi di malam hari saja.”Itu lampu disko  kami kak,” ujar Martha Yengsi (27) dari Aur Kuning, salah satu Desa Kekhafifaan Batu Songgan, sambil memperagakan matanya yang berkedip sambil berdisko di hadapan saya.Perangai Martha yang menari kecil itu,sempat membuat saya agak terpelongo.Karena saya pikir, mereka serius bercerita soal lampu disko di desa.

      

        PLTMh di Aur Kuning.(SRc)

Letupan padam tersebut,terkadang tidak sepenuhnya mati. Masih ada cahaya redup yang tercurah dari bola lampu. Sehingga, mereka menyebutnya keadaan tersebut, seperti berada di tempat sebuah club disko.

Tak jauh dari rumah tempat menginap, balai desa, telah banyak anak-anak muda duduk sambil membawa HP.Temaramnya cahaya lampu  menyebabkan wajah dan tubuh mereka tampak membayang satu sama lainnya.Dengan  lampu yang hanya berkisar 5 watt,tampak kalah dengan pekatnya kegelapan malam yang yang terhampr menutupi indahnya BRBB.

Bayangan tubuh satu sama lainnya, seperti fenomena pencahayaan tempo dulu, saat listrik masih sangat langka. Wajah-wajah yang tampak di bawah temaramnya lampu, menyebabkan saya berusaha untuk bisa lekat-lekat melihat siapa warga yang ada di sekitar saya.

Di sisi lain, ada beberapa anak muda memainkan gitar dan bernyanyi dekat dengan warung jajanan. Sesekali menjepret dengan HP mereka membuat selfi. Diantara mereka, ada yang beruntung bisa terkoneksi dengan wifi di balai tersebut. Tak heran, sekitar balai dijadikan ajang berebut sinyal dan kapasitas wifi yang terbatas ketika listrik hidup. Waktu jam listrik yang singkat itulah yang dimanfaatkan mereka bercengkerama dan bersosial satu sama lainnya, usai melakukan aktivitas di siang hari.

Umumnya Menggunakan EBT

Sementara,wilayah sepanjang Desa Subayang memiliki 8 desa sampai ke hulu sungai tersebut.Sementara 6 kenegerian diantaranya berada di bawah kekhalifaan Batu Songgan, yakni  Muara Bio, Desa Songgan,Tajung Beringin, Gajah Bertalut, Aur Kuning dan Terusan. Dua yang yang lainnya Tanjung Belit di paling hilir dan paling Hulu Desa Pangkalan Serai. Secara  adat, wilayah ini termasuk kedalam wilayah Kekahlifaan Batu Songgan yang masih terkait dengan Kerajaan Gunung Sahilan.

Umumnya, desa-desa tersebut menggunakan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) . Seperti PLTMh dan PLTS. Pembangkit listrik PLTMhi sangat bergantung kepada debit air Sungai Subayang, sungai utama di lokasi BRBB,Sungai Sanggan,Sungai Muara Bio dan anak-anak sungai lainnya.

Sebagian desa di kecamatan ini berada di dalam kawasan SM BRBB seluas 141.226 hektare. Lokasinya bisa ditelusuri dari Desa Gema di hilir hingga ke hulu dengan melawan arus. Gema merupakan pintu gerbang menuju desa-desa di bataran Sungai Subayang.

Menuju Desa Batu Songgan dari Kota Pekanbaru,lewat jalan lintas Pekanbaru-Taluk Kuantan yang juga jalan lintas tengah Sumatera, melewatiTeratak Buluh, Pantai Raja, Sungai Pagar, Simalinyang, Kebun Durian dan Lipat Kain dan masuk ke kanan dari simpang Kuntu. Perjalanan memakan waktu hampir dua jam sampai di gema.

                   

   

                               PLTS di Aur Kuning.(SRc)

Topografinya yang berbukit dan masuk dalam jalur Perbukitan Bukit Barisan yang bersebelahan dengan Sumatera Barat. Ketika berada di Piaw, kita bisa rasakan liku sungainya berbaling, sama dengan bentuk hamparan bukit-bukit baling. Tidak hanya itu, transportasi yang hanya dengan piaw sangat mahal dan kecil. Termasuk pula status dalam kawasan hutan konservasi yang membuatnya harus memiliki izin khusus melakukan pembangunan.

Warga Kekhalifaan Batu Songgan ini, sebelumnya menggunakan penerangan yang berasal dari getah pohon damar. Getah tersebut didapat dari hutan adat mereka sendiri yang dikelilingi hutan SM BRBB.Menurut cerita warga, konon para orangtua dulu, dalam mencari getah tersebut, harus mencari kedalam hutan, saat mencari kayu untuk dijual untuk kebutuhan hidup.Getah tersebut, dimasukkan ke dalam ruas bambu dan kemudian dibakar, sebagaimana layaknya obor. Namun penerangan yang dihasilkan dari getah damar ini bertahan hanya sebentar.

"Dari dulu para orangtua terdahulu sebelum listrik,genset ditemukan,penerangan aslinya pakai getah damar. Getah Damar dimasukkan di bambu, terus dibakar," ujar warga Songgan Nuskan (35).

Selanjutnya,ujar Nuskan,masuk bantuan PLTMh dari bantuan pemerintah pusat melalui Kabupaten Kampar pada tahun 2009.PLTMh baru mulai dioperasikan pada tahun 2010. Sejak saat itu, penggunaan energi listrik telah memberikan perkembangan dampak ekonomi warga dan mengubah gaya hidup mereka.

Selain perubahan pemakaian alat rumah tangga, pengetaman kayu untuk pembuatan rumah atau Piyaw, yang dulunya secara manual, kini sudah menggunakan pengetaman yang bertenaga listrik.Jika dahulunya, membuat  piaw bisa memakan waktu berbulan-bulan, maka kini hanya berkisar dua minggu setelah pembayaran DP. Piaw sudah selesai. “Tentu, para pengerajin pembuat piaw merasa lebih ringan.”Biaya listrik murah, kerja menjadi cepat,” papar Nuskan.”Bahkan anak sekolah juga sudah bisa belajar malam,” tambahnya.

Gencar Mendapatkan Pengakuan

Di sisi lain,dengan adanya PLTMh ini, sebagai tinggak dasar gencarnya  perjuangan warga Songgan untuk pengakuan wilayah adatnya.Perjuangan semakin terorganisir. Sejak ditetapkan BRBB sebagai kawasan SM BRBB tahun 2014, maka wilayah ini menjadi bersinggungan dengan wilayah konservasi. Dulunya warga bisa bebas mencari kayu di hutan dan hasil-hasil hutan, sejak ditetapkan sebagai kawasan SM BRBB, banyak warga kehilangan mata pencarian.

Dengan dibangunnya EBT di Kekahlifaan Batu Songgan,dampak salah satunya menyebabkan mata warga terbuka untuk mengembangkan potensi ekonomi pariwisata.Warga menjadi lebih semangat memperjuangkan perencanaan pengakuan wilayah adat. Sebab, masuknya listrik melalui PLTMh, pilihan untuk beralih menggerakkan pariwisata khusus menjadi terbuka. Karena untuk mengelola wisata memerlukan kepastian ketersediaan energi. ‘Jika kita mau berwisata ke daerah terpencil, pasti yang ditanya: “Ada listriknya ngak?,” ulas Nuskan.

“Meski dengan keterbatasan kemampuan PLTMh, tentu warga siap dengan jawaban pertanyaan tersebut,” ujarnya menambahkan.

Seiring itu pula, perjuangan panjang warga sejak tahun 2010 untuk menyusun pengakuan hutan adat yang tak kunjung putus, makin menguat di tahun-tahun berikutnya.“Ketika itu, perjalanan terjal untuk mendapatkan pengakuan sebagai wilayah dan hutan adatpun makin gencar,” ujarnya.

Setelah penunjukkan hutan BRRB tahun 1982, maka 32 tahun kemudian keluar  SK Menhut Nomor 3977/Menhut-VIII/KUH/2014 tanggal 23 Mei 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling,seluas 141.226,25 hektar di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. SM Bukit Rimbang Bukit Baling juga telah ditetapkan sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Bukit Rimbang Bukit Baling berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 468/Menlhk/Setjen/PLA.0/6/2016 tanggal 17 Juni 2016.

Seiring itu juga,akhirnya, pada 16 Oktober 2018, Kenegerian Batu Songgan dan Kenegerian Gajah Bertalut mendapat pengakuan oleh Pemerintah Kabupaten Kampar dengan dikeluarkannya SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA), Wilayah Adat dan Hutan Adat melalui SK No. 660-490/X/2018 untuk Kengerian Batu Sanggan dan SK No. 660-489/X/2018 untuk kengerian Gajah Bertalut. Dalam hal ini pengelolaan wilayah akan dilakukan secara adat, peraturan, dan kesepakatan adat serta lain-lainnya diatur dalam piagam kesepakatan masyarakat adat.

Kades Desa Batu Songgan, Indusrial, perjuangan masyarakat adat akhirnya mendapatkan titik cerah ketika pada 13 September 2018, semasa almarhum Bupati Kampar H. Azis Zaenal, SH, MM, menerima penyerahan usulan Hutan Adat di tengah area Hutan Imbo Putui, Petapahan Kabupaten Kampar dalam sebuah rangkaian acara khusus yang diselenggarakan oleh Tim Kerja Penetapan Masyarakat Hukum Adat (PMHA), Wilayah Adat, dan Hutan Adat di Kabupaten Kampar, yang terdiri dari World Resources Institute (WRI), Bahtera Alam, AMAN Kampar, dan Pelopor.

Tim Kerja PMHA tersebut, tidak saja selalu mendampingi warga BRBB dalam mendapatkan wilayah adatnya. Tetapi juga mendampingi bagaimana wisata BRBB bisa hidup tanpa merusak alam dan harus memperhatikan masyarakat adatnya. Hal ini dilakukan dengan menggali potensi wisata desa masing-masing, termasuk memelihara hutan sebagai ketersediaan resapan air untuk energi.

 

 

Banyak Kendala,Hingga “Terseok-seok”

Memiliki PLTMh tidak serta merta ketika program itu dibangun dan pengoperasian langsung berjalan lancar.Banyak kendala yang mereka hadapi.

Indusrial mengatakan, ketika PLTMh  diberikan 2009 lalu, ia sendiri belum menjadi kades.Namun menurut cerita warga setempat, jelas Indusrial yang menjadi kades sejak tahun 2014 ini,awalnya pengoperasioan PLTMh banyak kendala.

Antara lain pada tahun 2010, belum sampai genap sebulan, peralatan PLTMh sudah rusak. Ketika itu, pada tahun 2012, turbin dilakukan perbaikan. Kemudian di tahun 2013 diperbaiki kembali dan turbin tetap rusak. “Setelah diperbaiki, hanya bisa berfungsi dua minggu, terus rusak kembali hingga tahun 2015,” ujarnya.

Sebagai Konsultan EBT di Kampar Kiri, Harisman, mengatakan, pembangkit listrik di desa yang 90 persen penduduknya bermata pencarian petani kebun karet itu, baru beroperasi tanpa jeda sejak tahun 2015. “Baru rutin itu setelah perbaikan tahun 2015, awalnya saya tidak terlibat,” ungkap Harisman.

Hanya ada perbaikan besar sekali di tahun 2018. Namun, hingga sekarang tak ada lagi perbaikan besar lainnya. Dalam perbaikan besar itu, sebagaimana pengakuan Harisman, biayanya bisa mencapai Rp200 juta. Pendanaan selama ini merupakan swadaya masyarakat melalui tagihan bulanan maupun dana-dana lain yang dimiliki desa. "Saya,menyarankan agar pemeliharaan tubrin dianggarkan dari dana desa," ujarnya

Menurut informasi Harisman, petugas listrik desa bernama Marhalim, menjelaskan padanya, bahwa  ketika beroperasi pertama kali, tahun 2010 hanya bertahan  dua bulan. Alasannya, kerusakan berat dan tidak adanya ketersediaan dana. Oleh karena itu terhent. Tahun 2021,danapun didapatkan.Sementara, kontraktor yang membangun fasilitas  tersebut terkesan lepas tanggungjawab, karena ketika itu,PLTMH masih di bawah pengawasan kontraktur tersebut.

“Terseok-seoknya,” penggunaan awal pengopresioan EBT tenaga air mikro  tersebut, memang dimulai dari adanya unsur konsumsi berlebihan dari para pemakai. Sehingga, generator tak mampu memasok sebanyak kebutuhan besar tersebut. Maka, sistem pembangkit mini itupun rusak.

"Bisa anda bayangkan, warga sudah lama mendambakan energi. Ketika PLTMh masuk. Wargapun sulit mengontrol dirinya untuk memanfaatkan.Sehingga digunakan melebihi kapasitas," ujarnya.

Sebelumnya, masyarakat mengupayakan mendapatkan energi listrik melalui genset pribadi.Sata PLTMh masuk , penggunaan genset  yang lebih borospun ditinggalkan.Karena tiap bulan, per rumah tangga bisa menghabiskan dana 500-600.Sejak memakai PLTMh, ekonomi mereka sangat  terbantu.

Perlu Pembatasan

Penggunaan EBT menjadi solusi wilayah terisolir. Namun biasanya kapasistasnya skala mikro.Tidak heran terjadi redupnya pemakaian listrik seperti yang dikatakan warga Songgan.

Menurut Harisman pengalamannya sebagai konsultan dan teknisi EBT wilayah Kampar,EBT yang digunakan di PLTMh di Desa Batu Songgan adalah yang terbaik dan mewah.Terutama untuk wilayah Kampar.Sebab, penggunaan energinya airnya memiliki kemampuan 25.000 watt. Namun PLTMhnya untuk 500 watt.

Meski dalam kronologisnya awal Harisman tidak terlibat langsung ketika bantuan PLMh itu diberikan.Namun PLTMh mulai beroperasi sejak tahun 2010. Artinya, sudah 10 tahun lebih desa tersebut sudah mengenal EBT PLTMh dan mendukung ekonomi warga.

Harisman juga menjelaskan,letak desa-desa tersebut yang berada di hulu dan dikelilingi banyak anak-anak sungai, ketinggian kontur tanah yang berbukit, menyebabkan mereka memiliki sumber air yang berlimpah.Potensi inilah yang membuat PLTMh sangat cocok untuk dibangun.

Pembangunan PLTMh butuh ketinggian untuk membendung air.Contohnya, Desa Songgan.Ketinggian bendungan yang dibangun dari jarak dari turbin lebih kurang 12 meter.Sedangkan pipa besi penyalur air dari bendungan berdiameter 40 inchi.

Generator yang beroperasi berukuran 60kVA. Sementara, tenaga dari debit air maksimal yang mungkin dihasilkan adalah 38 kW.Lebar sungai yang dibendung untuk keperluan turbin berkisar 20 meter. Dengan perkiraan tinggi  tembok pembendung sungai 10 meter.

Terseok-seoknya perjalanan penggunaan energi PLTMh sebenarnya, ungkap Harisman lagi tidak akan terjadi. Oleh karena penunjukkan langsung dirinya oleh ESDM Kabupaten Kampar,untuk bertanggungjawab di lapangan, ia pun mengetahui penyebab kerusakan turbin.

Ia mengungkapkan, kerusakkan sebelumnya disebabkan,ketika warga Songgan memakai MCB 2 A tidak sesuai peruntukkannya. Jika dikalikan 220 Volt, maka  menjadi 440 watt per rumah tangga. "Sehingga dikalikan jumlah hampir 200 KK, beban menjadi berat, dengan pemakaian pembatasan yang tidak ada. Akibatnya, dalam 1 jam per rumah tangga yang demikain, energi sudah habis," paparnya.Hal iterutama saat debit air kurang, maka itu akan dipaksakan. 'Itulah saya katakan pemakaian listrik PLTMh di Songgan sangat mewah. Sebab, desa lainnya dibatasi hanya 0,3 KWh tiap hari per rumah tangga. Sedangkan di Songgan sudah loss, "ujarnya.

Untuk itu tahun 2015, Harisman menyarankan warga menggunakan MCB yang sesuai, agar listrik stabil dan turbin tidak cepat rusak.

 Harisman sendiri, sebelumnya aktif mengajar di Politeknik Kampar dengan program Bidang Studi Energi Baru Terbarukan. Sekarang, ia masih aktif sebagai konsultan secara pribadi bagi PLTMh di desa-desa di Sumatera dan Kalimantan."Sekarang saya akan ke Kalimantan," ujarnya ketika diwawancarai suarariau.co.

Harisman juga mengatakan, dengan adanya energi terbarukan,secara ekonomi warga di sana sangat terbantu. Biaya lebih kecil dibandingkan memakai energi PLN, dengan cost yang lebih tinggi. Rata-rata penduduk hanya membayar Rp30 ribu per bulan. Sedangkan PLN rata-rata di atas 150 ribu rupiah per bulan.

Meski PLTMh sudah ada, jelas Harisman menambahkan, panel surya tetap dipakai di bagi desa-desa di sepanjang Subayang. Hal itu juga digunakan warga untuk mendapatkan penambahan suplai listrik tenaga surya yang dibagikan pemerintah Kabupaten Kampar.***(bersambung)

Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco