Eco

Solusi Atasi Oversupply Pembangkit Listrik, Perlu Dukungan Transisi Energi

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2021-09-21 04:26:35 WIB
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabbry Tumiwa, pada konferensi pers The 4Th Indonesa Energi Transition Dialogue 2021, secara vitual, Senin (20/9/2021).(FOTO/SRc)

SuaraRiau.co -JAKARTA –Kondisi oversupply dari pembangkit listrik perlu diatasi dengan bersamaan upaya dekarbonisasi mendalam di sektor industri listrik.Untuk itu integarsi energi terbarukan dinilai perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply  listrik tersebut.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) fabbry Tumiwa, pada konferensi pers The 4Th Indonesa Energi Transition Dialogue 2021, secara vitual, Senin (20/9/2021).
Solusinya, aksi mitigasi bisa dilakukan dengan substitusi energi heating yang menggunakan fosil dialihkan ke penggunaan listrik.
“Kedua, solusinya adalah dengan PLTS atap justru paling efektif. Data resmi pemerintah pada 2019, dari PLTS ada 186 MW, tapi data di Asosiasi Energi Surya jauh lebih besar, pada 2020-2021 baik yang pipeline dan lengkap itu sampai Juli lalu totalnya ada 480 MW,” ujarnya.

 Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, menyampaikan transisi energi terbarukan tersebut perlu menunggu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Kita selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian kita sounding ke Kemenkeu untuk Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas," ujar Dadan.

 Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rachmat Mardiana mengatakan sudah menyusun beberapa kajian Net Zero Emission. Kajian itu berisi pertimbangan sosial, ekonomi, lingkungan dan kebutuhan pendanaan untuk bisa mempercepat dekarbonisasi di Indonesia.

Fabby  mengatakan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan. Kajian IESR menilaiuntuk memenuhi target 23 % bauran energi terbarukan hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp210 triliun.

Sedangkan  mencapai net zero emission, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar per tahun, atau sekitar Rp 420 triliun per tahun. 

Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hidrogen, serta bahan bakar sintetik untuk sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi, seperti pesawat dan kapal.

Sementara itu Widhyawan Prawiraatmadja, anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), mengatakan industri batu bara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon agar dapat ikut bertransformasi dan mendukung dekarbonisasi sistem energi.

“Konteksnya begini, kita menerapkan pajak karbon US$5 per ton. Aktornya akan berpikir kalau gitu dipajakin saja tidak apa-apa (pajak rendah-red). Jika demikian adanya maka peraturan tersebut sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar (negeri), pajaknya US$50 pasti sudah mikir banget mau pake fossil,” katanya.***

Halaman :
Penulis : Suarariau.co
Editor : Imelda Vinolia
Kategori : Eco