Eco

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2021-03-11 11:32:18 WIB
Deforestasi pads 20017-2018. ( int)

SuaraRiau.co -Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam releasenya pada 3 Maret 2021. Penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan.

Selayaknya Indonesia dapat mempertahankan penurunan deforestasi ke depan agar menjadi rujukan keberhasilan negara-negara pemilik hutan tropis lainnya. Untuk itu, mendesak bagi pemerintah untuk memastikan agar semua kebijakan pembangunan terkini, mulai dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga Program Ketahanan Pangan dan Energi - sejalan dan koheren dengan upaya pencapaian komitmen iklim,” ungkap Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi rilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) terkait deforestasi.

“Namun sesungguhnya penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada deforestasi hutan tanaman sebesar 99%, jadi bukan hilangnya hutan alam. Sementara itu deforestasi hutan primer turun sebesar 48%, yakni dari 23,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sayangnya, deforestasi hutan sekunder tidak turun sebesar hutan primer, yakni hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. Ini menunjukan bahwa sangat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang berada dalam konsesi yang belum terlindungi oleh PIPPIB, salah satunya melalui inovasi kebijakan termasuk implementasi REDD+,” ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist.

“Jika kita hanya melihat hilangnya hutan alam (deforestasi bruto hutan alam), betul terjadi penurunan deforestasi yang layak diapresiasi, namun hanya sebesar 38%, yakni dari 187,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin dan konsesi dan kawasan PIAPS dan PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru atau moratorium hutan sehingga rentan terdeforestasi,” tambah Fadli Ahmad Naufal.

Di sisi lain, disaat yang bersamaan pemerintah juga telah berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan bahwa berbagai program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.

Dalam waktu dekat, potensi naiknya angka deforestasi ke depan ditandai dengan luasnya hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi (Papua, Kalteng, Sumut, dan Sumsel). Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas pulau Bali. Kekhawatiran terjadinya deforestasi sangat beralasan karena besarnya potensi nilai ekonomi kayu pada luasan hutan alam tersebut, yaitu sebesar 209 triliun rupiah. 

“Oleh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB. Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat yang didukung oleh transparansi data,” ungkap Yosi.

“Madani akan berada di garda terdepan jika pemerintah membuka diri untuk kerja bersama dalam mengimplementasikan aksi untuk mengurangi deforestasi,” tambah Yosi. *****

Halaman :
Penulis : Suarariau.co
Editor : Suara Riau
Kategori : Eco