Eco

AMAN Sebut UU Omnibuslaw Cipta Kerja Lebih Dahsyat Memberangus Hak Masyarakat Adat

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2020-11-22 08:17:35 WIB
Materi Hukum diskusi daring Masa Depan Masyarakat Adat di Pusaran U Omnisbulaw oleh Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr Hermansyah . (SRc/Imelda)

SuaraRiau.co -

Sudah sejak awal tahun ini Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus law  memantik banyak persoalan ditolak oleh  Aliansi  masyarakat Adat Nusantara (AMAN.Sebab, Aman menilai  UU yang disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI itu lebih hebat akan memberangus  hak-hak masyarakat adat.

Hal ini dikupas dalam Workshop online The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Kalimantan Barat  bertemakan  “Masa Depan Masyarakat Hukum Adat dalam Pusaran Omnibus Law Cipta Kerja”, Sabtu (21/11/2020).

Workshop itu menghadirkan tiga pemateri, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, jurnalis senior Mardiyah Chamim dan akademisi Fakultas Hukum Universita Tanjungpura, Pontianak, Dr Hemansyah.

Foto Bersama Workshop.(SIEJ Kalbar dok)

 

Menurut Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, Undang Undang Omnibus law dianggap bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang telah diatur di dalam UUD 1945.

Erasmus menunjukkan bukti, satu di antaranya adalah turut dihapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kearifan lokal masyarakat adat (MA) dari ancaman pidana.

“Sistem membakar lahan MA secara tradisi  dari dulu  sudah didiskreditkan. Mereka dianggap sebagai perusak lingkungan dan pembakar hutan. Hanya karena pola perpeladangan yang mereka lakukan menjadi bagian dari tradisi,” kata Eras.

Ia juga mengatakan bahwa penguasaan atas lahan oleh MA  dianggap tidak efisien.

Selain itu, tidak adanya  perlindungan terhadap wilayah adat justru berdampak pada semakin masifnya perampasan wilayah adat untuk kepentingan investasi. Baik industri kehutanan, perkebunan, pertambangan dan lainnya.

Berdasarkan pemetaan wilayah adat yang dilakukan AMAN, masyarakat adat mendiami 11 juta hektare kawasan hutan di Indonesia. Sekitar 7, 11 juta hektare berada di dalam kawasan hutan  dan 2,6 juta hektare di luar kawasan hutan.

Sebanyak 24 persen dari i 7,11 juta Ha yang berada di dalam kawasan hutan  itu, telah dibebani izin, seperti HPH, HGU, tambang dan HTI.

Sedangkan 2,6 juta hektar yang berada di luar kawasan, hanya 20 persen yang dibebani izin.
jadi secara umum, Omnibus law Cipta Kerja berisiko tinggi bagi upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Eras menjelaskan lagi,  Omnibus Law Cipta Kerja lebih mempermudah investasi. Namun di sisi lain mengatur prosedur pengakuan Masyarakat Adat dalam RUU Masyarakat Adat yang bahkan lebih sulit dijangkau dari peraturan sektoral yang ada selama ini.

“Artinya, kriminalisasi, kekerasan, perampasan wilayah adat terhadap Masyarakat Adat akan terus terjadi,” katanya.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Dr Hermansyah punya tanggapan serupa. Ia mengatakan bukan hanya masyarakat adat saja yang merasakan dampak Omnibus Law.

hermansyah mengatakan, masyarakat adat juga memproduksi hukum/peraturan dalam mengatur kehidupan dan lingkunganya dalam menjaga eksistensi mereka. Hanya saja sifatnya tidak tertulis.  " Namun, , hukum adat tidak diakui oleh negara,"jelasnya.

Sementara itu Hermansyah juga menerangkan sifat hukum negara, yakni ra bersifat positivistik, politis, elitis, represiv dan  responsive, sertai ideologis. Sifat hukum negara ini menjadikan hukum negara memiliki watak linguistik, yaitu persoalan bahasa yang tertulis dalam dunia hukum, eksploitatif dan kapitalisasi.  Artinya, setiap dimensi kehidupan dihargai dengan uang.

Selanjutnya, ujar Hermasyah, Hukum Negara memiliki watak hegemonic (berkuasa dan merasa paling benar), dan alienasi (kesadaran).

“Intinya, hukum adat tercipta dari ideologis. Sedangkan hukum negara, proses pembentukannya syarat dengan kepentingan. Bahkan dibentuk sesuai pesanan,” jelasnya.

Menurut Hermansyah, dampak Omnibuslaw pada masyarakat adat yakni tersisihnya hukum dan kearifan lokal, Periferalisasi Sistem Subsistens, Matinya subjektivitas, hilangnya kebebasan dan tercabutnya makna religiositas dalam kehidupan. 

Di bagian lain, jurnalis senior, Mardiyah Chamim mengatakan, masyarakat adat bukan lah masyarakat primitive yang terpinggirkan. Keberadaannya memiliki peran besar dalam menjaga hutan dan ekosistemnya.

Mataeri daring Mardyah Chamim.(SRc/Imelda)

“Tanpa mereka, kita bisa apa?. Kita berutang pada masyarakat adat,” kata penulis buku “Penjaga Rimba Terakhir” itu.
Dalam kesempatan itu Mardyah Chamim juga memberikan alternatif  bagi wartawan untuk menulis soal-saol Masyarakat Adat dengan angle yang lebih humanis, untuk membangun kesadaran publik dan pengambil keputusan. ***

Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Suara Riau
Kategori : Eco