Ketiadaan UN Selaras Dengan Pelaksanaan K13

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2020-03-19 07:20:48 WIB
Guru di SLB N Pembina Pekanbaru, Misdayani, S.Pd Guru di SLB N Pembina Pekanbaru, Misdayani, S.Pd

SuaraRiau.co - Pemimpin baru, kebijakan baru. Kata-kata ini menjadi biasa di telinga kita sebagai warga negara Indonesia. Memang benar adanya. Mencoba melihat dari sisi dunia pendidikan. Sejak Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan, tersebar issue bahwa ujian nasional akan ditiadakan.

Benarkah? Yang pasti gonjang ganjing perihal pelaksanaan ujian nasional sebagai penentu kelulusan ataupun tidak sudah lama dipertanyakan. Jauh sebelum kebijakan ini menjadi wacana viral. 

Kenapa dipertanyakan? Ketimpangan antara tujuan dan manfaat ujian nasional dengan kenyataan yang terjadi menimbulkan keresahan dari berbagai pihak. Baik peserta didik, guru maupun orang tua. Sebagai contoh, ujian nasional dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Pun sebagai dasar seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya.

Akibatnya, peserta didik mementingkan nilai. Guru dan sekolah fokus mementingkan nilai, bukan kompetensi. Sehingga banyak cara yang tidak layak akhirnya dilazimkan demi memperoleh nilai maksimal.

Jika demikian, jangankan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, justru yang terjadi wajah dunia pendidikan Indonesia akan tercoreng. 

Jika melihat permasalahan dari sudut pandang di atas, tentu ada baiknya jika ujian nasional benar-benar ditiadakan. Karena tidak didasarkan pada model kurikulum berbasis kompetensi seperti kurikulum 13 yang tengah berjalan saat ini. Aneh tapi nyata.

Sekolah-sekolah diwajibkan menggunakan kurikulum 13, tetapi pelaksanaan ujian nasional mengutamakan nilai, bukan kompetensi. Terasa sia-sia saja. Padahal dana yang dikucurkan untuk pelaksaaan ujian nasional itu tidaklah sedikit.

Sehubungan dengan akan ditiadakannya ujian nasional pada tahun 2021 mendatang, penulis merasa wacana ini selaras dengan pelaksanaan kurikulum 13 itu sendiri. Bagaimana tidak, kurikulum 13 menuntut peserta didik memiliki empat kompetensi sekaligus.

Sedangkan ujian nasional selama ini lebih banyak hanya menilai kemampuan kognitif saja. Untuk kemudian dijadikan dasar dan penentu kelulusan di setiap akhir jenjang pendidikan.

Tidak adil bukan? Bagaimana nasib peserta didik yang kompetensi kognitifnya masih kurang, sementara memiliki kompetensi sangat bagus dalam bidang spritual, sosial dan keterampilan? Bukankah ketiga kompetensi itu adalah ruhnya karakter? 

Jika ujian nasional hanya memusatkan nilai pada kemampuan kognitif, artinya karakter tidak dipentingkan? Padahal pendidikan karakter tengah dielu-elukan dalam rangka menciptakan generasi emas tahun 2045.

Guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan. Maka kurikulum 13 dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. 

Kurikulum 13 juga dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar. Lalu, bagaimana bisa hanya diberikan soal-soal UN dalam bentuk multiple choice yang jelas membatasi kreatifitas peserta didik dalam menyelesaikannya.

Pun multiple choice adalah bentuk soal yang sangat rapuh. Seharusnya tidak bisa dijadikan patokan sebagai dasar pemberian nilai kelulusan peserta didik.

Karenanya saya membayangkan bahwa, ketiadaan ujian nasional adalah salah satu bentuk keadilan bagi peserta didik. Kemampuan peserta didik menjadi lebih dihargai. Karena tidak lagi hanya berpatokan pada selembar hasil dari ujian nasional. Melainkan proses sejatinya jauh lebih penting.

Maka seorang guru yang objektif dalam melakukan asemen dan penilaian jauh lebih dibutuhkan. Tidak ada lagi penilaian terhadap satu kompetensi saja. Juga bukan sekadar mencari nilai, yang cara pemerolehannya terkadang tidaklah benar. 

Harapan saya semoga kebijakan baru yang dilahirkan nantinya mampu menilai semua kompetensi seperti apa yang diharapkan pada kurikulum 13. Bukan hanya diberatkan pada kemampuan kognitif semata.(***)

Tentang Penulis

Bernama Misdayani. Kelahiran Pariaman pada tanggal 09 Agustus, 35 tahun yang lalu. Mengajar di SLB N Pembina Pekanbaru sejak tahun 2010 hingga saat ini. Penulis dapat disapa melalui email misdayani84@gmail.com 

Penulis : Suarariau.co
Editor : Suara Riau
Kategori : Kolumnis