Mengurai Masalah Karhutla Dengan Nilai Keilmuwan

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2020-01-17 21:57:39 WIB
Dr. Afni Zulkifli, S.AP,  M.Si Dr. Afni Zulkifli, S.AP, M.Si

SuaraRiau.co - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia masih menjadi ancaman nyata. Hal ini disebabkan karena kompleksitas persoalan, baik di tingkatan organisasi maupun operasional kerja. Karenanya salah satu unsur penting kebijakan publik pengendalian karhutla, harus didasarkan pada landasan keilmuwan.

''Tidak akan pernah surut dari pandangan saya bahwa kebijakan publik harus betul-betul didasarkan pada landasan keilmuan disamping aspek legally, politically dan pratically,'' ungkap Menteri LHK Siti Nurbaya, saat menghadiri ujian terbuka promosi Doktor Ilmu Sosial konsentrasi Ilmu Administrasi Publik, Promovenda Afni Zulkifli di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Jumat 17 Januari 2020.

Karena itu Siti mengatakan, novelty atau kebaharuan suatu penelitian, khususnya penelitian Ilmu Sosial yang berkaitan dengan fokus kerja pemerintah, akan ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan publik yang baik bagi masyarakat.

"Ini juga penting bagi perkembangan kebijakan publik ke depan untuk membangun Indonesia Maju, terutama pandangan bahwa perlindungan lingkungan sama pentingnya dengan pertumbuhan ekonomi,'' kata Menteri Siti. 

Terkait hasil penelitian Promovenda Afni, yang saat ini juga menjabat sebagai Tenaga Ahli Menteri LHK, Menteri Siti berjanji akan menjadikannya sebagai masukan dan landasan kebijakan dalam mengatasi Karhutla di Indonesia.

''Kami harapkan dapat dilanjutkan pendalaman dari temuan-temuan yang ada hari ini, terutama bagi dukungan pengembangan kebijakan dan aktualisasi pengendalian Karhutla di Indonesia. Hasil penelitian jangan hanya berhenti saat ujian, namun harus didalami, dilanjutkan, dan sampai digunakan dalam mengurai persoalan sosial seperti karhutla,'' katanya.

Dalam Disertasinya berjudul 'Kepemimpinan Transglobal untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau', Afni menjelaskan masih terjadi banyak kegagalan persepsi dalam organisasi kerja pengendalian karhutla.

Pengendalian masih sering disalahartikan sebagai kerja pemadaman saja. Padahal konteks kerja pengendalian, telah diatur sebagai struktur tahapan yang memuat unsur penting lainnya seperti perencanaan, pencegahan, koordinasi kerja, kesiagaan hingga pasca kebakaran.

Kepemimpinan transglobal dengan lima karakteristik utama yakni Uncertainty (ketahanan ketidakpastian), Tim Connectivity (Konektivitas tim), Pragmatic Flexibility (Fleksibilitas pragmatis), Perspective Responsiveness (Responsif Perseptif), dan Talent Orientation (Orientasi bakat), telah menjadi gaya kepemimpinan yang berperan penting mengubah paradigma kerja pengendalian kembali pada konteks yang benar dalam mengatasi karhutla berulang.

" Kegagalan persepsi pengendalian akan berujung pada kegagalan mengubah paradigma dari pemadaman ke pencegahan. Ini masih ditemukan untuk kerja pengendalian di tingkat tapak, sehingga potensi terjadinya karhutla berulang masih sangat besar,'' ungkap Afni.

Menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus organisasi, ditemukan bahwa kepemimpinan Presiden dan Menteri LHK di Satgas Karhutla Nasional, memenuhi unsur karakteristik kepemimpinan transglobal. Namun hal tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan karhutla secara permanen.

Untuk itu para pemimpin di semua tingkatan kerja organisasi pemerintah, harus mengambil peran dan posisi yang sama. Organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah, dituntut untuk mampu menghasilkan kebijakan publik berskala global, sekaligus tetap memastikan keterlibatan serta kepentingan masyarakat secara seimbang dan berkelanjutan di lingkup lokal.

"Karenanya perlu ada kolaborasi antara gaya kepemimpinan transglobal dengan gaya kepemimpinan lokal (tranformasional dan transaksional), agar menghasilkan kepemimpinan transglobal yang benar-benar bersifat universal,'' jelasnya.

Karenanya selain lima karakteristik utama kepemimpinan transglobal, pengendalian Karhutla membutuhkan pendelegasian kewenangan (delegation of authority) dan partisipasi masyarakat (society participation). 

Keseluruhan karakteristik tersebut harus berada dalam pola pendekatan kerja lanskap fire (bentang alam api) guna menghasilkan kebijakan publik memutus segitiga api yang memuat interaksi antara tempat, waktu dan sosial kultural.

''Pemimpin di semua tingkatan kerja, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, harus dapat memastikan kondisi lingkungan berada pada rentang ketersediaan yang aman antara kehidupan manusia dan keberadaan sumberdaya alam, serta secara paralel meningkatkan kemampuan sumberdaya alam untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional, serta capaian sasaran Sustainable Development Goals (SDGs/pembangunan berkelanjutan),'' jelas Afni.

Bertindak selaku Promotor dan Co-Promotor, Prof.Dr.H.Soleh Suryadi, M.Si., dan Dr.H.Yaya Mulyana Abdul Aziz, M.Si. Adapun tim penguji sidang promosi Doktor ini diantaranya Prof.Dr.Ir.H.Eddy Jusup SP, M.Si., M.Kom, Prof.Dr.H.M. Didi Turmudzi, M.Si, Prof.Dr.H.Bambang Heru P, M.S, dan Prof.Dr.H.Benyamin Harits,M.S. 

Selain Menteri LHK, turut hadir Kepala BP2SDM KLHK Ir. Helmi Basalamah, Guru besar Universitas Lancang Kuning Prof.Sudi Fahmi, Guru besar Universitas Islam Riau Prof.Ellydar Chaidir, mantan Rektor Unilak Dr.Hasnati, SH, MHUM, jajaran KLHK, dan segenap civitas akademik lainnya.(***)

Penulis : Suarariau.co
Editor : Suara Riau
Kategori : Info Lingkungan Hidup & Kehutanan