Eco

Fieldtrip Geology To West Sumatera With Chevron (2): Istano Pagaruyung , Sawah Lunto Bersejarah, Danau Singkarak dari Puncak Gobah Hingga Ngarai Sianok nan Romantis

  Oleh : Imelda Vinolia
   : info@suarariau.co
  2019-12-13 00:00:01 WIB
Foto bersama dari Puncak Gobah dengan pemandangan di belakang view Danau Singkarak. (SRc.dok) Foto bersama dari Puncak Gobah dengan pemandangan di belakang view Danau Singkarak. (SRc.dok)

SuaraRiau.co -Hari Kedua, para jurnalis  yang semangatnya berapi-api  dengan menginap di Hotel Emersia di Batu Sangkar. Meski jurnalis akan berangkat menuju Sawahlunto, namun pagi gerimis di Batusangkar,  kami sempat mengunjungi  Istano Baso Pagaruyung. Untuk beberapa saat sambil berpayung dan bertopi yang memang sudah diingatkan sebelum berangkat membawa peralatan, kami mengambil pose menikmati sejarah dan moment kunjungan di istana yang terkenal tersebut.

Usai itu, kami  berangkat bergerak  menuju Sawahlunto. Dalam perjalanan yang sangat menggembirakan tersebut , jurnalis mampir di Guguak Cino,  sebuah kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumbar.

Singkapan di Guguak Cino.


Tiba di lokasi kami mendapatkan lokasi tersebut sebuah tambang tua. Untuk sejenak saya memikirkan namanya aneh, tetapi ternyata lokasi tambang batu untuk bangunan. dataran tingginya sedikit bisa saya lihat seperti bak   Piramid Mesir ini, dengan lokasi yang agak sedikit becek dan berlumpur,  Geology Chevron Agus menjelaskan jenis batuan basemen granite., yang merupakan contoh  besemen batuan beku  yang ada di cekungan Obilin saat Jurasssic.
Menurut Agus, batuan di Guguak Cino tersebut meski sudah lapuk dan tua, bisa berfungsi sebagai resevoar yang berasal dari intrusi batuan beku  magma yang mencapai kontinen, yang juga terdapat dicekunga Sumatera Tengah.Sementara batuan di Guguak Cino tersebut juga bisa mengandung emas. Agus memperlihatkan bahwa garis-garis putih memanjang pada granit adalah kuarsa yang menandakan batuan tersebut mengandung emas.


Kemudian tak berapa jauh dari Guguak Cino, jurnlis dibawa ke formasi  batuan  Sangkarewang  yang berumur Eocone dan merupakan rekanan sedimen danau purba. Batu ini banyak mengandung material organik. Batuan ini memiliki sumber minyak dan gas bumi. Setelah diamati, singkapan batuan ini memiliki struktur geologi yang bentuknya lipatan dari logo Chevron atau lipatan akordeon yang jika di lihat secara teliti membentuk asal muasal logo Chevron.

Berhenti di Singkapan Sakerawang yang lipatannya seperti logo Chevron. (Src.dok)


Tetapi lebih mengejutkan lagi kokohnya batuan sangkerawang ini ternyata tidak semuanya kokoh. Ketika Geologist Chevron mengeluarkjan sebuah pisau kecil dan mengikisnya  kenyataannya batuan tersebut rapuh. Namun ada bagian yang kuat. Sempat terbayang dan shock ketika kami melihat hal itu begitu mudahnya dikikis dengan pisau kecil. "Coba kita bayangkan jika air mengikis batuan ini, maka akan longsor dan berbahaya," ujarnya.

Perjalanan pun dilanjutkan ke Museum Lobang Tambang Mbah Soero di Kota Sawah Lunto. Setiap mengingat Sawah Lunto, saya teringat akan cerita ibu  bahwa kakeknya sebagai tanahan Belanda di buang ke Sawah Lunto selama 6 tahun. Kemudian ketika ia dipulangkan ke kampung Halaman (Tarutung, Sumut, red), sang kakek pulang dengan naik kuda digiring Belanda. 

 Museum Lobang Tambang Mbah Soero di Kota Sawah Lunto.(SRc.dok)


Akhirnya untuk pertama kali saya pun sampai di Kota legendaris pembuangan jaman Belanda ini. Kelihatan memori sejarah yang kental masih dapat dilihat dari bentuk bangunan dan relief  berkesan sejarah di Kota Kecil yang cukup sejuk ini. Ada perasaan damai dan nyaman dengan suasana yang tenang, tidak hiruk pikuk seperti di perkotaan.


Namun ada perasaan merinding ketika baru menginjakkan kaki di meseum sejarah tersebut.  Baru pertama kami kali mengetahui peninggalan kejam Belanda. Di pintu masuk Museum, kita akan menjumpai kotak kaca, ada foto para pekerja yang dirantai. Sejenak kami tertegun dan membayangkan mirisnya kehidupan para warga dahulu yang bekerja di tambang Ombilin. Saat itu juga bayangan saya berkelebat dengan apa yang dirasakan kakek ibu saya. Mungkin kakek juga mengalami hal yang sama yakni kerja rodi di Tambang Batu Bara Ombilin dengan penuh siksaan.


Di Museum berlantai dua dan sangat kecil ini, dari sayang kiri ditemukan pintu gerbang cukup kecil dengan pigura merah batu bata sebuah terowongan yang tembusannya bisa kemana-mana, namun salah satunya ada di di depan jalan tempat bus kami berhenti.


Sambil mendapat keterangan sejarah tambang batu bara tersebut, kami juga melihat sejumlah foto bersejarah di museum tersebut. Oleh karena jaman kolonialis Hindia  Belanda, maka Negara Indonesia belum ada dalam ejaan di  foto-foto sejarah di museum tersebut. Usai itu kami makan siang di sebuah restoran yang terkenal dengan Dendeng batokoknya.

 Perjalanan semakin seru ketika kami menuju Danau Singkarak, dengan mencapai lokasi yang bisa membuat  kita melihat danau yang panjang sekitar 30 km tersebut dengan  jelas dari ujung ke ujung, dengan naik mini bus  ke Puncak Gobah atau Puncak Aripan.
Agus memberikan penjelasan, bahwa Danau Singkarak merupakan danau terluas kedua di Sumatera setelah Danau Toba, memilki luas 107,8 kilometer persegi dengan ketinggian 363,5 meter dari permukaan laut. Terletak di dua Kabupaten, di Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah datar.
Danau ini menjadi salah satu destinasi wisata unggulan, selain Istana Basa Pagaruyuang, kebun teh, dan danau kembar. Setiap tahunnya, danau dijadikan lokasi balap sepeda internasional "Tour The Singkarak."


Ia juga menjelaskan bahwa  para ahli geologi menyebutkan Danau Singkarak  tersebut setiap tahu bertambah luas, akibat pergeseran patahan. "Danau itu makin lama makin luas karena memang ada istilah geologi namanya lembah patahan, yakni danau yang terbentuk akibat patahan lempengan," jelasnya.
Ia mengatakan dalam skala waktu geologi, pergerakan patahan tersebut terjadi dalam waktu yang lama, bisa mencapai rentan waktu puluhan, ribuan, bahkan jutaan tahun.


"Itu adalah proses geologi yang biasa karena terbentuknya dari patahan. Proses perubahan tersebut tidak cepat, dalam puluhan tahun bergerak hanya berapa senti saja," katanya.Kendati demikian proses pergerakan tersebut hanya proses geologi biasa, dan tidak memberikan dampak negatif bagi warga yang bertempat tinggal di kawasan tersebut.


Sambil mendapatkan  geomorphology di Puncak  Gobah dari geologist Agus, kami juga menikmati pemandangan dari puncak Gobah tersebut.
Agus menjelaskan, secara geologi Danau Singkarak memiliki nilai warisan dan keanekaeragaman yang bernilai tinggi  yang tidak kalah dari geopark Danau Toba.


Danau Singkarak adalah depresi atau cekungan yang terbentuk oleh patahan yang bergerak saling menjauh atau Sesar Geser Besar Sumatera yang diperkirakan terbentuk pada umur 1 juta hingga 2 juta tahun lalu dan hingga kini, sesar ini terus bergerak saling menjauh. Danau ini contoh danau yuang ada di cekungan Sumatera Tengah pada masa Eocene dan Oligocene.


Danau yang memiliki panjang 30 kilometer dan lebar sekitar 10  dan kedalamam 200 meter  dan merupakan danau kedua terdalam dan tak kalah menarik setelah Danau Toba.


Sementara, Agus juga menjawab pertanyaan adanya kematian ikan ribuan ekor di danau tersebut dalam siklus waktu 3 tahunan, menurut para ahli terjadi akibat dilepaskanya gas metan dari dalam bumi  yang menyebar kedalam air dan membuat ikan mati. Akhirnya kami menuju ke Bukit Tinggi sambil menikmati perjalanan sepanjang pinggiran Danau jalan lintas menuju  ke Bukit Tinggi. tersebut dan menginap di Novotel.


Tak kalah menarik menginap di Novotel Bukit Tinggi malam itu, dan meski hari ketiga, cuaca tetap hujan gerimis,  kami berkunjung ke Ngarai Sianok. 

Menikmati Kopi di gazebo berlantai dua di Kafe Taruko. (SRc.dok)


Dengan menggunakan bus dan mini bus kami menjalani jalanan yang cukup sempit ke  tempat endapan Maninjau Tephra. Tak disangka di sana kami menuju sebuah cafe yang bisa istirahat sambil menikmati kopi dan snack kecil seperti gorengan kentang, pisang dan keripik di cafe Taruko yang unik dengan beberapa gazebo beratapak rumah gadang (rumah adat Minang Kabau, red) dengan suasana yang romantis. Sebab ada tanaman bunga alam dan tanam kolam serta gazebo yang memiliki kursi menikmati alam dari ketinggian gazebo berlantai dua,melihat pemandangan alam natural semakin romantis dari saegala sisi. Sambil mendengar geotour kembali dari Agus, kami juga sempat berpose mengambil momen di halaman cafe  Taruko dimana pemilik kafe ternyata paham dengan ilmu geologi. Pria tinggi langsing  bernama Rakai dan memiliki istri kebangsaan Inggris  tersebut ternyata cepat akarab dengan para tamu-tamunya. 


Sambil mengamati singkapan endapan erupsi volkanik muda Gunung Maninjau di ngarai itu. Endapan sedimen piroklastik (sedimen jatuhan) tuf dan lapili dari Gunung Maninjau diperkirakan terjadi sekitar umur Pleistosene hingga Holocene, sesekali kami mengambil foto bersama.Agus mengatakan  sedimen ini sering disebut sebagai Maninjua Tephra, lapisan ini mengindikasikan bahwa dahulu terjadi erupsi volkanis yang intensif dan berulang.


Rakai menjelaskan bahwa ia juga sedang melakukan proses geologi kecil dengan cara menahan pengikisan air dengan menyusun  batu-batu kali di tempat-tempat tertentu di sekitar  tempatnya yang dekat dengan aliran sungai kecil bebatuan. JIka belokan sungai ke kiri, maka sebelah kanan akan tergerus dengan cepat, demikian sebelaiknya. Dan ia mencoba menahan proses tergerusnya daratan atau pinggiran sungai dengan menyusun batu-batu dari kali tersebut.
Perjalanan geologi tersebut membuat kesimpulan singkat yang bisa dipaparkan soal asal minyak bumi dengan menelusurinya dari perjalanan Pekanbaru-ke Bumi Sumatera Barat, yakni,  pendidikan bagi jurnalis lewat perjalanan membuka misteri singkapan-singkapan bebatuan sepanjang titik tertentu untuk mengetahui proses  terbentuknya minyak bumi  pada jutaaan tahun yang lalu, hingga lapisan tanah dan faktor pendukungnya.

Manager Corporate Communication PT CPI Sonitha Poernomo, yang turut hadir mendampingi selama perjalanan tiga hari tersebut. (SRc.dok)

Perjalanan melelahkan namun menyasyikkan  bagi jurnalis, belajar geologi  dengan konsep tour wisata ini memberikan penerapan penguasaan ilmu geologi lebih rilek, namun menimbulkan decak kagum bukan saja kepada Sang Pecipta  dengan tak terhingga, tetapi juga bagi para ahli geologi dan pihak Chevron yang membuat jurnalis melek pengetahuan geologi.


Manager Corporate Communication PT CPI Sonitha Poernomo, yang turut hadir mendampingi selama perjalanan tiga hari tersebut,  juga mengatakan di sela-sela tour bahwa hal  itu juga merupakan pengalaman pertamanya. Dan mengetahui lebih dekat seputar ilmu geologi dan rangkaian kenangan menarik yang dapat diambil hikmahnya.


"Selama perjalanan animo teman-teman bertanya dan menikmati perjalanan sambil belajar  menjadi hal  yang bisa diambil manfaatnya dan ia merasakan  lebih dekat secara emosional kepada jurnalis dan jurnalis  antar jurnalis, sehingga bisa saling memahami satu sama lainnya," ujarnya.

Sedangkan Geologist Chevron, Agus Susianto  sebagai pemandu utama perjalanan geologi tersebut  mengatakan  Sumbar adalah laboratorium gelogi alam yang tersedia di Sumatera. Banyak singkapan yang  menjadi petunjuk  bagaimana asal minyak bumi, yang prosesnya jutaan tahun yang lalu.


"Jutaan tahun yang lalu daratan Sumatera ini merupakan lautan. Karena terjadi tekanan akibat pergeseran lempeng tektonik, dan terjadi lipatan batuan bumi,  batuan di bawah laut dan  perut bumi kemudian bisa terdorong ke atas permukaan dan dalam prosesnya terjadi sedimentasi ke daerah yang berbentuk cekungan dari daerah yang terangkat tinggi di permukaan,"paparnya.

Pulau Sumatera tersusun oleh basemen  beberapa pecahan lempeng benua tua yang kemudian menyatu, salah satunya  yang berasal dari bagian Australia yang menyatu yang membentuk daratan Sumatera," lanjutnya.

Untuk mempelajari cekungan Sumatera Tengah sebagai tempat penghasil migas  seperti  Riau, ujarnya,   dimana cekungan dan reservoir memiliki bentuk tertentu dan sebagainya,  ketika  dilihat lewat penginderaan citra satelit dan pengeboran, maka untuk belajar cekungan yang  kedalamannya 3-4 kilometer di perut bumi  tersebut dapat dilihat dari perjalanan geologi  ke Sumbar.


"Sumbar  adalah laboratorium geologi alam, dimana tersedia singkapan-singkapan, mulai dari batuan landasan, wadah dari cekungan, batuan induk, contoh reservoar, jebakan, batuan tudung dan proses terjadinya cekungan dengan  lengkap untuk bisa menceritakan bagaimana proses minyak bumi terbentuk," jelasnya.


"Sebenarnya Tuhan dan Alam ini sudah mempersiapkan bumi dan isinya sedemikian sempurna untuk manusia baru seperti kita, dijaman tersendirid an sangat spesial. Untuk itu wajib bagi kita memelihar abumi dan berbuat kebajikan untuk kehidupan kita nanti atau Hidup setelah kehidupan. Saya berharap teman-teman bisa memahaminya, "ujarnya.


Ada perasaan  bersalah kenapa kita tidak lebih giat dan lebih awal menjaga bumi dan isinya. Namun perjalanan ini menyadarkan kita sebagai jurnalis betapa besar dan patutnya kita menjaga kekayaan alam sejak dini melalui tulisan sebagai wujud syukur kita terhadap Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.*****

Halaman :
Penulis : Imelda Vinolia
Editor : Suara Riau
Kategori : Eco